Kamis, 05 September 2013

Legenda gundaling berastagi

Bukit Gundaling merupakan objek wisata yang terdapat di pinggirkota Berastagi, yang terletak kurang lebih 60 km dari kota Medan. Pemberian nama Gundaling oleh masyarakat sekitar memiliki sejarah tersendiri. Cerita yang merebak di masyarakat berkembang dari lisan ke lisan sehingga menjadi cerita rakyat tersendiri.
 
            Awal kisah terbentuknya nama Bukit Gundaling adalah terjadi pada masa sebelum Indonesia merdeka. Di kisahkan bahwa pada zaman dahulu ada seorang pemuda berkebangsaan Inggris yang tinggal di daerah Berastagi sebagai penyebar agama nasrani. Suatu hari ketika berjalan-jalan di sebuah bukit  dia bertemu dengan seorang gadis yang merupakan penduduk asli daerah tersebut. Gadis itu memiliki paras yang cantik dengan rambut panjang yang terurai, tutur bahasanya sopan dan lembut membuat sang pemuda begitu terpana dengan keelokan sang gadis.

            Singkat kata, maka dengan rasa hati-hati dan sedikit ragu pemuda tersebut menyapa sang gadis, Walau bahasa daerah yang ia gunakan masih terlalu kaku. Tak terduga ternyata si gadis membalas sapaan pemuda tersebut walau dengan raut muka malu-malu maka mulailah sang pemuda mengajak sang gadis mengobrol sampai tak terasa waktu telah menjelang sore. Ketika sang gadis sadar jika waktu telah sore, gadis itu berpamitan kepada pemuda itu untuk pamitan pulang karena orang tuanya sudah menunggu di rumah. Sang pemuda sebenarnya enggan untuk melepaskan sang gadis karena masih ingin berlama-lama dengannya, tapi karena sang  gadis terus memaksa maka dengan berat hati direlakanlah sang gadis untuk pulang.

            Sejak kejadian itu sang pemuda selalu teringat dengan sang gadis dan selalu ingin bertemu dengannya, demikian juga halnya dengan si gadis tadi. Tampaknya kedua insan ini telah terkena panah cinta karena setiap hari saling merindukan satu sama lain. Singkat cerita, mereka jadi sering melakukan pertemuan di bukit itu dan akhirnya berikrar menjadi sepasang kekasih. Setiap hari dari pagi menjelang sore keduanya sering bercengkrama di bukit itu. Bukit tersebut merupakan bukit yang ditumbuhi rimbunan pohon pinus. Ketika telah tersampaikan hasrat hatinya maka berpisahlah keduanya untuk kembali ke rumahnya masing-masing.

            Orang tua si gadis melihat banyak perubahan pada anak diri gadisnya yang sering melamun dan tersenyum-senyum sendiri. Bahkan sudah sekian lama sang gadis tak pernah lagi mau disuruh untuk pergi ke ladang membantu orang tuanya. Akhirnya timbul lah kecurigaan dalam hatinya tentang kelakuan anaknya tersebut. Dengan rasa penasaran orang tua si gadis mengikuti kemana perginya si anak secara diam-diam. Betapa terkejutnya orang tua si gadis mengetahui si anak berhubungan denganorang asing dan tak dikenal. Maka murkalah si orangtua tersebut, kemudiandengan paksa membawa anaknya pulang sehingga membuat si pemuda terkejut.

            Sejak saat itu sang gadis di kurung orang tuanya di rumah dan tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa seizin orang tuanya dan tanpa ditemani saudaranya. Orang tua si gadis berniat menikahkan si gadis dengan sepupu dekatnya. Rencana pernikahan telah dibuat dengan cepat tanpa meminta persetujuan si gadis. Sementara si gadis setiap harinya selalu dirundung kesedihan dan matanya bengkak karena sering menangis. Dia menangis karena tidak bisa lagi bertemu dengan kekasihnya. Demikian juga dengan sang pemuda selalu resah dan gelisah karena tak bertemu pujaan hatinya.Dengan di dorong oleh rasa rindu yang menggebu maka nekatlah sang pemuda menemui sang gadis di rumahnya dengan mengendap-endap pada malam hari. Dalam keadaan gelap gulita sang pemuda mendekati kamar sang gadis dan memanggil namanya dengan suara yang lembut dan pelan. Sebab ia takut ketahuan orang tau si gadis. Ketika sang gadis mengetahui dan mendengar suara kekasihnya maka dengan segera ia membuka jendelakamarnya. Dari jendela kamarnya sang gadis mengatakan kepada pemuda itu  bahwa ia dalam masa pingitan dan akan segera di nikahkan dengan sepupu dekatnya. Terkejutlah sang pemuda, lalu menyarankan si gadis untuk kabur bersamanya.

            Setelah bersepakat untuk bertemu di bukit tempat mereka biasa bertemu, pulanglah si pemuda ke rumahnya. Pada keesokan harinya pergilah si pemuda ke bukit tempat mereka janji bertemu. Dia menunggu sang gadis dengan perasaan gelisah. Sementara sang gadis berusaha keluar dari rumahnya lewat jendela. Tapi memang malang nasib si gadis karena masih dalam perjalanan ternyata keluarganya mengetahui niat si gadis lalu memaksanya pulang, dan hari itu juga dia di nikahkan dengan sepupunya.

            Sementara sang pemuda sudah gelisah tak menentu menunggu kedatangan sang gadis. Dia berjalan mondar mandir kesana kemari mencari sang gadis sambil berteriak memanggil “darling”, tapi yang ditunggu dan di harapkan tak kunjung tiba. Sang pemuda tak mengetahui jika sang gadis telah menikah dan tak mungkin bertemu dengannya lagi.


            Setiap hari yang dilakukannya haya mondar mandir di bukit tersebut sambil memanggil darling. Sehingga pada akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Berastagi sambil membawa luka hatinya. Sebelum pergi, ia memandangi bukit tempat ia bertemu dengan gadisnya. Maka terucaplah kata “good bye darling” yang artinya “ selamat tinggal sayang”. Dia mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang sambil teriak sampai bukit tersebut tak kelihatan lagi di pelupuk matanya. Masyarakat sekitar yang tak mengerti apa yang diucapkan sang pemuda karena bahasa yang berbeda mengubah pengucapan good bye darling dengan gundaling. Sejak saat itu bukit tersebut diberinama “gundaling”.

Tembut tembut seberaya

Pirei Sembiring Depari lahir di tahun 1856 di keluarga yang sudah mempunyai jiwa seni. Dia terlahir sebagai seorang seniman dan seorang pandai besi (pembuat tumbuk lada) yang berbakat. Pada tahun 1918 hiasannya terhadap tumbuk lada (senjata tradisional Batak Karo, mempunyai maksud yang sama dengan Keris dari jawa) dirasakan sangat unik dan istimewa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dari perihal tersebut, Belanda membawanya ikut ke Betawi untuk berpartisipasi pada ajang kejuaraan pahat nasional dan hasil pertandingan tersebut diraihnya dengan mendapat juara 2 nasional dari pemerintah kolonial Belanda sebagai pemahat dengan ukiran terbaik setelah Bali. Sepulang dari sana, tembut-tembut buatan pertama dari Pirei, diambil secara paksa oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk dibawa ke Netherland. Hal ini diduga terkait dengan politik adu domba yang dilakukan Belanda pada saat itu, karena dalam pandangan belanda: tembut-tembut Seberaya dapat menjadi fasilitas pemersatu suku di Seberaya (terutama suku di Tanah Karo).
Apresiasi diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda berupa uang dan medali sebagai hadiah. Sepulang dari Betawi, Pirei Sembiring Depari menciptakan seni pertunjukkan tembut-tembut dengan awal maksud hanyalah sebagai hiburan masyarakat semata namun didasari atau dilatarbelakangi bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa. Proyeksi seni yang dia berikan pada tembut-tembut ini tercium oleh pemerintah kolonial Belanda, Idris Sembiring Depari dan Hemat Sembiring Depari sebagai generasi ke 3 keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda sangat menaruh perhatian yang besar terhadap tembut-tembut Seberaya, dan berniat memilikinya secara pribadi. Prosesi pengenalan terhadap masyarakat tersebut ternyata menjadi awal kesakralan dari prosesi pementasan tembut-tembut ini.
Tahun 1900-an hal-hal yang bersifat mistis/magis mulai merasuki ranah seni pertunjukkan tembut-tembut semenjak ia digunakan sebagai Subyek (pelaku) prosesi upacara pemanggilan hujan akibat kemarau yang panjang di Desa Seberaya. Dwikora Sembiring Depari sebagai generasi ke 4 keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa rupa tembut-tembut dan nilai magis yang melekat padanya membuat masyarakat karo pada umumnya sangat takut terhadap tari topeng ini. Dengan kata lain, maksud dan tujuan dari pemahat topeng (Pirei Sembiring Depari) ketika menciptakan tembut-tembut (seni pertunjukkan) sudah dapat dikatakan telah sukses melekat pada masyarakat Seberaya dan masyarakat Karo pada umumnya. Kata tembut-tembut sendiri, berasal dari kata tembut atau nembut-nembuti yang berarti menakut-nakuti, hal ini mempunyai arti yang sama dengan gundala-gundala. Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat Karo masih sangat dibingungkan dengan pemahaman ke dua hal tersebut yaitu tembut-tembut atau gundala-gundala.
Berdasarkan hasil percakapan dengan Kakek sebelumnya yang dilakukan oleh Dwikora, perbedaan antara tembut-tembut dan gundala-gundala terdapat pada makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun arti yang dibawakannya sama namun makna yang terkandung adalah berbeda. Wawancara yang dilakukan oleh Dwikora terhadap Generasi ke 2 pertembut-tembut sebelumnya mengatakan bahwa kata gundala-gundala berasal dari orang-orangan sawah yang berfungsi untuk menakut-nakuti burung, namun orang-orangan sawah ini umumnya digerakkan oleh petani dari rumah kecil/sapo yang ada di ladang (orang-orang sawah yang digerakkan). Hal ini berbeda dengan tembut-tembut, makna tembut-tembut yang terkandung di dalamnya mengandung arti menakut-nakuti namun dapat bergerak dan berpindah untuk menakut-nakuti orang yang mempunyai niat jahat. Dari penjelasan ini, maka sangat jelaslah bahwa cerita yang dibawakan oleh tembut-tembut Seberaya memiliki latar belakang kisah dari penciptanya yaitu Pirei Sembiring Depari. Kisah tembut-tembut Seberaya dilatar belakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek Pirei yang melintasi ladang padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya kehidupan suku di seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar ladang padi-nya membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung yang mengganggu proses pertanian tersebut.
Awal inspirasi kakek pirei membuat tembut-tembut tersebut berasal dari pengalaman ini. Hingga saat ini, cerita dan pengalaman baru pun mengisi celah budaya dalam ranah tarian topeng sakral ini. Karena apa yang dibawakan oleh tembut-tembut merupakan sebuah sejarah lisan, maka perlu banyak hal yang harus digali dan diluruskan kejadiaanya agar tidak melenceng jauh dari sejarah yang ada. Dwikora menjelaskan secara detail, bahwa sebelumnya di Desa Seberaya, Marga Sembiring Depari merupakan kaum minoritas karena simateki taneh/Raja yang di Desa Seberaya adalah bermarga Karo sekali (Raja Urung Karo Sekali). Hipotesa yang terjadi adalah Bagaimana bisa orang yang bukan berasal dari desa tersebut memiliki tapak dan ladang di Desa Seberaya saat ini?.
Perkiraan yang dangkal terhadap kisah ini adalah mungkin karena Kakek Pirei Sembiring Depari sangat pintar bergaul, bersahabat dan berteman dengan siapa saja sehingga tumbuh niat dari seseorang memberikan tanah dan tapaknya secara ikhlas untuk rumah dan ladang kepada Pirei, atau dapat dikatakan bahwa pada saat itu, pasti kakek Pirei telah melakukan suatu jasa yang besar terhadap raja atau orang yang ada di sekitarnya, sehingga dengan jasanya tersebut dia diberikan tapak untuk rumah dan ladang untuk bertani. Rangkaian cerita inilah yang membawanya pada makna tembut-tembut itu sendiri, bahwa sebagai penjaga desa, Pirei Sembiring Depari mempunyai tugas untuk mengawal, menjaga Desa Seberaya dari orang-orang yang mempunyai niat jahat pada Desa Seberaya.

Dengan kata lain, Pirei Sembiring Depari adalah Tembut-tembut itu sendiri. Dari uraian tersebut maka tersimpulkanlah kata tembut-tembut yang berasal dari Seberaya. Oleh sebab itu hingga saat ini, seluruh keturunan dari Kakek Pirei Sembiring di juluki keturunan Pertembut-tembut Seberaya bukan Pergundala-gundala Seberaya seperti yang diasumsikan selama ini.

Tare iluh dan beru sibou

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan sang abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Sibou menolong abangnya?
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.
Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.
“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.
“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.
Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.
“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”
“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.
Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”
Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

MEGIT BRAHMANA


Pada abad 16, Seorang Guru Mbelin dari India bernama Megit Brahmana datang ke Tanah Karo. Kedatangan Megit Brahmana ke Tanah Karo pertama kali ke kampung Sarinembah, tempat seorang muridnya dulu di India berkasta Kstaria Meliala bermukim. Brahmana disebut juga golongan Sarma atau tertinggi dalam kasta di India. 
Bersama muridnya ini Megit Brahmana berangkat menuju kuta Talun Kaban (sekarang Kabanjahe) dimana ada sebuah Kerajaan Urung XII Kuta yang rajanya adalah Sibayak Talun Kaban bermerga Purba.
Di daerah itu dia disambut hangat oleh Sibayak dan rakyatnya. Megit Brahmana menuturkan pada Sibayak ingin menyebarkan agama pemena (baca : Hindu) di daerah itu. Maksud kedatangan Megit dan muridnya ini disambut hangat oleh raja dan rakyatnya. Di daerah itu pula Megit Brahmana kemudian disegani sebagai pemuka agama. Sibayak lalu mengangkatnya sebagai penasehat pribadinya. 
MEGIT BRAHMANA DAN GURU TOGAN RAYA
Suatu hari Sibayak menuturkan masalahnya pada Megit Brahmana kalau dia mempunyai permasalahan dengan Guru Togan Raya. Tanah-tanah perladangan rakyatnya di kampung Raya dan Samura telah direbut oleh Guru itu. Guru Togan Raya bermerga Ketaren adalah seorang dukun sakti yang disegani semua orang. Dia berasal dari kampung Raya. Namanya Togan berarti menentang siapa saja yang menghadangnya. Guru itu mempunyai kerbau banyak. Kemana saja kerbau yang digembalakannya pergi maka tanah itu menjadi miliknya. Orang-orang yang punya tanah tidak berani menentangnya. Siapa yang menentang berarti mati.
Sibayak mengharapkan bantuan Megit Brahmana untuk bernegoisasi dengan Guru Togan. Megit Brahmana dan muridnya orang Meliala tersebut menyanggupinya. Mereka lalu membuat tempat pemujaan di ladang-ladang rampasan Guru Togan Raya. 
Suatu hari ketika sedang bersemedi, mereka bertemu Guru Togan Raya. Mereka tidak ada saling berucap kata-kata namun menyatukan batin. Mereka saling menghargai dan menghormati. Ternyata setelah bertutur, Megit Brahmana dan Meliala adalah Anak Beru Guru Togan Raya. Akhirnya mereka menyampaikan maksud tujuan mereka. Guru Togan Raya mengabulkannya. Semua tanah perladangan Sibayak Talun Kaban dikembalikannya.
Semua orang Purba dan anak berunya menyambutnya dengan sukacita. Sejak saat itu hubungan merga Purba dan Ketaren semakin harmonis. Tempat pemujaan itu kemudian dinamakan Barung-Barung Berhala, karena banyak patung-patung berhala pemujaan Guru Mbelin Mbelin Brahmana. Sekarang Barung Berhala telah menjadi Kuta Berhala. 
MECU, MBARU, MBULAN
Karena keinginan Sibayak agar kedua Guru Mbelin itu tidak pergi dari kampungnya Talun Kaban, maka Sibayak mengawinkan mereka dengan gadis pilihan dari keluarganya. Guru Mbelin Brahmana akhirnya mendapat 3 putra yang kemudian diberi nama Mecu, Mbaru, dan Mbulan.
Suatu hari Sibayak Talun Kaban dan pengawalnya berburu babi hutan. Rombongannya menyusuri lembah lau Gurun dan sampai ke sebuah pokok kayu bernama ‘buah’. Tiba-tiba anjing yang menyertai mereka mengonggong ke satu tempat. Di situ ada seekor kepiting besar. Sibayak melemparkan lembingnya dari bekas kepiting itu keluar air jernih, tempat itu kemudian dinamakan Lau Cimba Simalem.
Kemudian Sibayak Talun Kaban, memindahkan kampungnya dari Talun Kaban ke seberang jurang sungai Lau Cimba Simalem. Kuta itu kemudian diberi nama Rumah Kabanjahe. Kabanjahe artinya hilir kaban, karena kampung ini dihilir kampung Kaban dari merga Kaban.
Di kampung itu berdiri Rumah Derpih, Rumah Selat, Rumah Buluh, Rumah Galuh untuk putera-putera Sibayak. Sementara Guru Mbelin Brahmana mendirikan rumah-rumah anaknya yang bernama Rumah Mecu, Rumah Mbaru, dan Rumah Mbulan.
Sementara Guru Mbelin Meliala mendirikan rumah anaknya di sebelah timur yang bernama Rumah Julu. Lalu berdiri pula Rumah Jahe dari merga Purba Kuta Kepar. Dan terakhir Rumah Bale juga dari merga Purba. 
MECU BRAHMANA DAN KETURUNANNYA
Mecu Brahmana mempunyai keturunan. Keturunannya kemudian menyebar ke Bulan Julu dan Namo Cekala
Sedangkan di Rumah Mecu Kabanjahe keturunanannya mempunyai 4 rumah adat tetapi dibawah pengulu kesain Rumah Mbaru. 
MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA
Mbulan Brahmana mempunyai anak lelaki beberapa orang. Salah satunya menjadi pengulu di kesain Rumah Mbulan Tanduk. Rumah adatnya ada dua.
Salah seorang anak laki-lakinya yang paling sulung pergi merantau ke kaki Sinabung. Disana dia kawin dengan seorang Beru Perangin-angin dan mendapat beberapa orang anak. Suatu hari keluar dari sebuah lubang kerbau yang sangat banyak dan tidak habis-habisnya. Putera Mbulan Brahmana bersama anak-anaknya kemudian menutup lubang itu, Dari lubang itu akhirnya tumbuh Buluh Kayan yaitu bambu yang bertuliskan aksara Karo.
Buluh Kayan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Orang-orang dari berbagai kuta berduyun-duyun datang ke kampung itu untuk berobat, Akhirnya kampung itu semakin ramai dan disebut Guru Kinayan yang berasal dari kata Guru Buluh Kayan.
Kemudian putra dari Brahmana di Guru Kinayan itu melanjutkan warisan bapanya sebagai Guru Kinayan. Sementara bapanya akan melanjutkan perjalanan. Mulai saat itu semua keturunannya disebut Sembiring Guru Kinayan.
Suatu saat datanglah musim kemarau. Anak Mbulan Brahmana dan puteranya yang lain mendaki Gunung Sinabung untuk melihat daerah mana yang ada airnya. Terlihat mereka sebuah kolam air di sebelah hilir Lau Biang.
Brahmana keturunan Mbulan itu melanjutkan perjalanannya ke kampung itu bersama anak laki-lakinya yang lain. Sementara anak laki-lakinya yang menjadi dukun penyembuh tetap tinggal di Guru Kinayan. Tibalah mereka di kampung Perbesi. Anak laki-lakinya kawin dengan Perangin-angin Sebayang. Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Perbesi.
Brahmana keturunan Mbulan itu suatu hari menggembalakan kerbau-kerbaunya yang banyak dari Guru Kinayan dan mendirikan barung-barung di Limang. Kerbau-kerbau yang digembalakannya bertambah banyak. Akhirnya dia menetap di Limang. Keturunannya kemudian menjadi Brahmana Limang.
Salah seorang keturunan Brahmana Perbesi pergi ke Kuta Buara dan bermukim disana.
Sementara keturunannya yang lain pergi ke Bekawar di Langkat dan kawin dengan gadis disana. Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Bekawar di Langkat Hulu. Keturunannya mendiami kampung Salapian dan Bahorok. 
MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA
Mbaru Brahmana kawin dengan Beru Purba. Keturunannya mendiami Rumah Mbaru di Kabanjahe. Salah satu kempunya mendirikan Rumah Kitik.
Salah satu keturunannya pindah ke kampung Singa. Keturunannyalah semua Brahmana Singa.
Keturunannya yang lain merantau ke Deli Tua. Disana dia kemudian menetap. Dan menjadi Anak Beru Deli Tua.
BRAHMANA, GURUKINAYAN, PANDIA, COLIA, MUHAM
Lima merga Sembiring yang disebut Sembuyak yaitu Brahmana, Gurukinayan, Pandia, Colia, dan Muham. Selain Gurukinayan yang memang berasal dari Brahmana, ketiga merga yang lain diduga mempunyai kasta yang sama di India. Kelima merga ini satu perahu dalam Kerja Mbelin Paka Waluh yaitu tradisi menghanyutkan abu pembakaran mayat (ngaben) ke sungai Lau Biang yang dipercaya akan bertemu dengan sungai Gangga di India.

 Kelima sembuyak ini kemudian sepakat kalau keturunan mereka tidak boleh saling mengawini. Perjanjian kelimanya dilakukan di sebuah kuta yang kemudian disebut Limang.Semoga

Guru kalak karo

Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang yang berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang Karo. Upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang relaif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu dilakukan masyarkat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan, baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka. Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut dengan pemena.
Demikian juga halnya dengan apa yang disebut dengan guru. Konsep guru ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut pemena atau perbegu. Penyebutan kata pemena ini disepakati sejak tahun 1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesalahpahaman orang-orang di luar orang Karo atas pengertian kata perbegu. Kataperbegu bagi orang di luar orang Karo seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh jahat lainnya. Sementara kata pemena berarti asli, berasal dari kata bena yang berarti awal atau yang pertama (asli). Jadi kata pemena dapat diartikan merupakan kepercayaan yang asli (pertama) dari orang-orang Karo sebelum masuknya pengaruh agama seperti Katolik, Islam, Protestan, Hindu dan Budha.
Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam “kosmos” mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan tendi yang mencakup segalanaya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan totalitas dari “kosmos” (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai “mikro-kosmos” (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula (tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini disebut sebagai ‘keseimbangan dalam manusia’. Hubungan yang kacau atau tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap sebagai “makro-kosmos”. Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini = nenek), yaitu; beraspati taneh (inti kehidupan tanah), beraspati rumah (inti kehidupan rumah), beraspati kerangen (inti kehidupan hutan), beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen Karo, nini beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap sebagai pelindung manusia.
Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau (inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas (palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar), embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput).
Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin (mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual, tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang mereka adakan, seperti dalam upacara
perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan lambang diri manusia.
Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur peredaran darah dalam tubuh.
Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut:
“enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe sider bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho, pinang meciho maka meciholah penuri-nurin Dibata si lakuidah. Maka ula kari abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati
rumah ujung kayu bena kayu".
("Ini aku datang memohon ijin kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah dari segala sisi, kuletakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih bersih dan bagus demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan terang atau jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak terlihat. Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin dariku, kepada nenek beraspati rumah, baik yang ada di ujung kayu ataupun di pangkal kayu".)
Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib diatunjukkan dengan pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda (di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama
menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para guru dianggap maelewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air), sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru memakai air yang ditempatkan dalam satu mangkuk putih, terutama jika guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang mati yang mengganggu.
Sebutan i jah dan i jenda tidak berarati adanya suatu wujud pasti tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib, namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak terlihat dan tanpa wujud, karaena itulah disebuat deangan i jah (di sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya.
Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan kehidupan.
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meinggal, seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya mereka yang dijulluki sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu atau perumah tendi. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus). Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam hari.
Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang berasal dari “makro-kosmos”.
Menurut seorang guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
“I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel lalana, tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina orang alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita.”
(“Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu keramat penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak menganggu sifatnya, tidak mau menganggu manusia, dia menolong manusia, tapi jika orang-orang halus bisa saja membuat penyakit bagi manusia dan mencelakakan kita.”)
Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen yang dipanggil “Pa Jawi”. “Pa Jawi adalah seorang guru pembuat langir (berlangir). Pa Jawi harus menentukan berapa jumlah tumbuhtumbuhan yang harus dipakai sebagai bahan upacara dan juga mantera-mantera yang diucapkan untuk jeniss penyembuhan yan berbeda pula. Untuk membuat pangir seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan bahan-bahan seperti; jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat buah, daundaunan tertetnu seperti besi-besi, sangka sempilet, kalinjuhang dan lain-lain, juga beberapa ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Karo disebut buku-buku, seperti; ruas tebu, ruas batang bambu, ruas batang jagung dan lain-lain. Dimana pemilihan jenis tumbuhan ini disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang secara simbolik dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat tumbuhan itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali keseimbangannya dan sembuh dari penyakit.
Pa Jawi mengatakan bahwa:
“si sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka si ban pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana, banci idahna ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin atena, pemindona makana ia engganggui, adi enggo si eteh, maka si ban pangirna, bereken kai si i pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca bage e maka si sakit pe malem ka lah ia, malem pinakit”.
(Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa yang sakit, lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat melihat mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus itu, ditanya apa kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah diketahui lalu dibuatkan pangir untuk si pasien dan dipenuhi permintaan mahluk halus itu,
jika demikian, maka sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh)
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus mampu terlebih dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit atau keadaan tidak seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian tahap berikutnya menentukan jenis upacara penyembuhan dan pengobatan; jenis obat dan jenis mantera yang diperlukan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa sebutan untuk jenis guru, seperti; guru tua dan guru si nguda/ guru sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik dengan perhitungan waktu, arah dan tempat), guru nendung (peramal dengan bertanya pada roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru si erkata kerahung/ guru perseka-seka, yaitu seseorang yang memiliki suara siulan di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si dua lapis pernin matana (seseorang yang dapat melihat roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang yang disertai dan dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan penyembuhan dan upacara-upacara ritual), guru si baso (seseorang yang dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya sehingga kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang telah meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya sebagai medium (perantara) untuk berbicara dengan kearabt-kerabat yang masih hidup, guru perseluken (seseorang yang ahli mengundang roh-roh gaib memasuki tubuh orang lain sehingga kemasukan), guru nabas (seorang ahli mantera), guru permag-mag ( seseorang yang ahli dalam penyampaian doa melalui nyanyian), guru pertapa (pertapa), guru pertawar (penyembuh dengan ramuan obat-obatan), guru perbegu ganjang
(pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli guna-guna atau peamu racun), guru baba-baban (ahli jimat isebut juga guru perberkaten), guru si majak panteken (ahli membuat pangir/langir baik sebagai obat penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru ini mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat).
SIAPA MENJADI GURU
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu. Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika paroses kelahirannya tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki ciri fisik tertenu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga.
Mengingat setiap guru harus mempunyai apa yang disebut dengan jenujung (junjungan) yaitu roh gaib pelindung/pnolong, maka orang-orang yang kelahirannya istimewa saja yang dapat mempunyai jenujung. Jenujung ini diyakini berasal dari benua datas (dunia atas). Junjungan ini dianggap memiliki kemampuan gaib yang dapat melindungi para guru dan membantunya dalam praktek-praktek penyembuhan ataupun pengobatan. Junjungan ini diyakini pula dapat melindungi para guru dari niat jahat orang lain terhadapnya yang hendak mencelakakanya.
Beberapa ciri tanda kelahiran yang dianggap istimewa seperti; janin yang dililit oleh tali pusar, leher janin terbungkus oleh selaput pembungkus janin, dan lain-lain. Sementara itu, beberapa ciri fisik bawaan dari lahir yang juga dianggap
sebagai hal istimewa adalah; jumlah gigi seri yang hanya dua buah, jumlah jari kaki ataupun tangannya lebih banyak dari orang biasa, adanya daging tumbuh pada daerah tertentu di tubuhnya. Tetapi hal ini tidaklah selalu harus ada pada setiap
guru secara mutalak.
Keahlian dapat pula dimiliki melalui belajar, bertapa, keturunan, atau atas kehendak roh-roh gaib melalui peristiwa mimpi, didatangi roah gaib keramat dengan jalan kesurupan, tiba-tiba lehernya mengeluarkan suara siulan yang berdesis, atau

 terlebih dahulu menderita suatu penyakit yang disebabkan oleh roh-roh gaib, lalu setelah sembuh diadakan suatu upacara untuk meresmikan roh gaib keramat tersebut menjdi jenujungnya (junjungan). Setelah peresmian menjadi junjungan ini, maka seseorang sudah menjadi guru dan dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit ataupun mampu mengundfang roh-roh gaib lainnya. Seeorang dapat pula menolak menjadi guru walaupun dia bermimpi didatangi roh-roh gaib yang meyuruhnya menjadi seorang guru. Penolakan ini juga harus dilakukan melalui suatu upacara ritual, sama halnya dengan penerimaan menjadi guru yang juga harus dilakukan melalui suatu ritual yang disebut petampeken jenujung. Ritual petampeken jenujung atau penolakan jenujung ini dapat dilakukan oleh jenis guru yang disebut dengan guru si baso. Guru si baso ini cenderung terdiri dari kaum wanita.

Beru ginting sope mbelin

Di daerah Urung Galuh Simale ada sepasang suami istri, yaitu Ginting Mergana dan Beru Sembiring. Mereka hidup bertani dan dalam kesusahan. Anak mereka hanya seorang, anak wanita, yang bernama Beru Ginting Sope Mbelin.
Untuk memperbaiki kehidupan keluarga maka Ginting Mergana mendirikan perjudian yaitu “judi rampah” dan dia mengutip cukai dari para penjudi untuk mendapatkan uang. Lama kelamaan upayanya ini memang berhasil.
Keberhasilan Ginting Mergana ini menimbulkan cemburu adik kandungnya sendiri. Adik kandungnya ini justru meracuni Ginting Mergana sehingga sakit keras. Akhirnya meninggal dunia. Melaratlah hidup Beru Ginting Sope Mbelin bersama Beru Sembiring.

Empat hari setelah kematian Ginting Mergana, menyusul pula beru Sembiring meninggal. Maka jadilah Beru Ginting sope Mbelin benar-benar anak yatim piatu, tiada berayah tiada beribu.
Beru Ginting Sope Mbelin pun tinggal dan hidup bersama pakcik dan makciknya. Anak ini diperlakukan dengan sangat kejam, selalu dicaci-maki walaupun sebenarnya pekerjaannya semua berres. Pakciknya berupaya memperoleh semua harta pusaka ayah Beru Ginting Sope Mbelin, tetapi ternyata tidak berhasil. Segala siasat dan tipu muslihat pakciknya bersama konco-konconya dapat ditangkis oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Ada-ada saja upaya dibuat oleh makcik dan pakciknya untuk mencari kesalahan Beru Ginting Sope Mbelin, bisalnya menumbuk padi yang berbakul-bakul, mengambil kayu api berikat-ikat dengan parang yang majal, dll. Walau Beru Ginting Sope Mbelin dapat mengerjakannya dengan baik dan cepat – karena selalu dibantu oleh temannya Beru Sembiring Pandan toh dia tetap saja kena marah dan caci-maki oleh makcik dan pakciknya.
Untuk mengambil hati makcik dan pakciknya, maka Beru Ginting Sope Mbelin membentuk “aron” atau “kerabat kerja tani gotong royong” yang beranggotakan empat orang, yaitu Beru Ginting Sope Mbelin, Beru Sembiring Pandan, Tarigan Mergana dan Karo Mergana.
Niat jahat makcik dan pakciknya tidak padam-padamnya. Pakciknya menyuruh pamannya untuk menjual Beru Ginting Sope Mbelin ke tempat lain di luar tanah Urung Galuh Simale. Pamannya membawanya berjalan jauh untuk dijual kepada orang yang mau membelinya.
Di tengah jalan Beru Ginting Sope Mbelin bertemu dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini memberi kain kepada Beru Ginting Sope Mbelin sebagai tanda mata dan berdoa agar selamat di perjalanan dan dapat bertemu lagi kelak.
Kemudian sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di Tanah Alas di kampung Kejurun Batu Mbulan dan diterima serta diperlakukan dengan baik oleh Tengku Kejurun Batu Mbulan secara adat.
Selanjutnya sampailah Beru Ginting Sope Mbelin bersama pamannya di tepi pantai. Di pelabuhan itu sedang berlabuh sebuah kapal dari negeri jauh. Nakhoda kapal itu sudah setuju membeli Beru Ginting Sope Mbelin dengan harga 250 uang logam perak. Beru Ginting Sope Mbelin disuruh naik ke kapal untuk dibawa berlayar. Mesin kapal dihidupkan tetapi tidak jalan. Berulang kali begitu. Kalau Beru Ginting Sope Mbelin turun dari kapal, kapal itu dapat berjalan, tetapi kalau dia naik, kapal tidak dapat berjalan. Nakhoda akhirnya tidak jadi membeli Beru Ginting Sope Mbelin dan uang yang 250 perak itu pun tidak dimintanya kembali.
Perjalanan pun dilanjutkan. Ditengah jalan, paman Beru Ginting Sope Mbelin pun melarikan diri pulang kembali ke kampung. Dia mengatakan bahwa Beru Ginting Sope Mbelin telah dijual dengan harga 250 perak serta menyerahkan uang itu kepada pakciknya Beru Ginting. Pakciknya percaya bahwa Beru Ginting telah terjual.
Beru Ginting Sope Mbelin meneruskan perjalanan seorang diri tidak tahu arah tujuan entah ke mana, naik gunung turun lembah. Pada suatu ketika dia bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang mengajar anaknya. Anehnya harimau tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin, bahkan menolongnya menunjukkan jalan yang harus ditempuh.
Beru Ginting Sope Mbelin dalam petualangannya sampai pada sebuah gua yang dalam. Penghuni gua – yang bernama Nenek Uban – pun keluar menjumpainya. Nenek Uban ini pun tidak mau memakan Beru Ginting Sope Mbelin bahkan membantunya pula. Nenek tua ini mengetahui riwayat hidup keluarga dan pribadi Beru Ginting Sope Mbelin ini.
Atas petunjuk Nenek Uban ini maka secara agak gaib Beru Ginting Sope Mbelin pun sampailah di tempat nenek Datuk Rubia Gande, yaitu seorang dukun besar atau “guru mbelin”. Sesampainya di sana, keluarlah nenek Datuk Rubia Gande serta berkata: “Mari cucu, mari, jangan menangis, jangan takut” dan Beru Ginting Sope Mbelin pun menceritakan segala riwayat hidupnya.
Beru Ginting Sope Mbelin pun menjadi anak asuh nenek Datuk Rubia Gande. Beru Ginting pun sudah remaja dan rupa pun sungguh cantik pula. Konon kabarnya sudah ada jejaka yang ingin mempersuntingnya. Tetapi Beru Ginting Sope Mbelin tidak berani mengeluarkan isi hatinya karena yang memeliharanya adalah nenek Datuk Rubia Gande. Oleh karena itu kepada setiap jejaka yang datang dia berkata : “tanya saja pada nenek saya itu”. Dan neneknya pun berkata kepada setiap orang: “tanya saja pada cucu saya itu!”. Karena jawaban yang seperti itu jadinya orang bingung dan tak mau lagi datang melamar.
Ternyata antara Beru Ginting Sope Mbelin dan nenek Datuk Gande terdapar rasa saling menghargai. Inilah sebabnya masing-masing memberi jawaban pada orang yang datang “tanya saja pada dia!” Akhirnya terdapat kata sepakat, bahwa Beru Ginting mau dikawinkan asal dengan pemuda/pria yang sependeritaan dengan dia. Neneknya pun setuju dengan hal itu.
Akhirnya, nenek Datuk Rubia Gande pun dapat memenuhi permintaan cucunya, dengan mempertemukan Beru Ginting Sope Mbelin dengan Karo Mergana penghulu Kacaribu, berkat bantuan burung Danggur Dawa-Dawa. Dan kedua insan ini pun dikawinkanlah oleh nenek Datuk Rubia Gande menjadi suami-istri.
Setelah beberapa hari, bermohonlah Karo Mergana kepada nenek Datuk Rubia Gande agar mereka diizinkan pulang ke tanah kelahiran Beru Ginting Sope Mbelin, karena begitulah keinginan cucunya Beru Ginting itu. Nenek Datuk Rubia Gande menyetujui usul itu serta merestui keberangkatan mereka.
Berangkatlah Beru Ginting Sope Mbelin dengan suaminya Karo Mergana memulai perjalanan. Mereka berjalan beberapa lama mengikuti rute perjalanan Beru Ginting Sope Mbelin dulu waktu meninggalkan tanah urung Galuh Simale. Mereka singgah di kampung Kejurun Batu Mbulan, di pelabuhan di tepi pantai tempat berlabuh kapal nakhoda dulu, melalui simpang Perbesi dan Kuala bahkan berhenti sejenak di situ.
Sampailah mereka di antara Perbesi dan Kuala. Anehnya, di sana mereka pun berjumpa pula dengan Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi. Kedua Sibayak ini sangat bergembira karena dulu mereka pernah memberi kain masing-masing sehelai kepada Beru Ginting Sope Mbelin yang sangat menderita berhati sedih pada waktu itu, dan kini mereka dapat pula bertemu dengan Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana.
Jadinya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya Karo Mergana, bermalam pula beberapa lama di Kuala dan Perbesi atas undangan kedua sibayak tersebut. Dan disediakan pula pengiring yang mengantarkan Beru Ginting Sope Mbelin bersama Karo Mergana ke tanah Urung Galuh Simale. Semuanya telah diatur dengan baik: perangkat gendang yang lengkap, makanan yang cukup bahkan banyak sekali. Pendeknya, Beru Ginting Sope Mbelin bersama suaminya diantar dengan upacara yang meriah atas anjuran dan prakarsa Sibayak Kuala dan Sibayak Perbesi yang bijaksana dan baik hati.
Ternyata pakcik Beru Ginting Sope Mbelin dulu – yang juga seorang dukun – mempunyai firasat yang kurang baik terhdapa dirinya. Oleh karena itu pada saat tibanya Beru Ginting Sope Mbelin di kampungnya, pakciknya itu sekeluarga menyembunyikan diri di atas para-para rumah. Akan tetapi akhrinya diketahui juga oleh Beru Ginting Sope Mbelin.
Pakcik dan makcik Beru Ginting Sope Mbelin dibawa turun ke halaman untuk dijamu makan dan diberi pakaian baru oleh Beru Ginting Sope Mbelin. Pakcik dan makciknya itu sangat malu dan tidak mengira bahwa Beru Ginting Sope Mbelin akan pulang kembali ke kampung apalagi bersama suaminya pula yaitu Karo Mergana.
Berbagai bunyi-bunyian pun dimainkan, terutama sekali “gendang tradisional” Karo serta diiringi dengan tarian, antaralain:
a. gendang si ngarak-ngaraki;
b. gendang perang si perangen;
c. gendan perang musuh;
d. gendang mulih-mulih;
e. gendang ujung perang;
f. gendang rakut;
g. gendang jumpa malem;
h. gendang morah-morah;
i. gendang tungo-tungko.

Dan sebagai hukuman atas kekejaman dan kebusukan hati pakcik dan makciknya itu maka tubuh mereka ditanam sampai bahu masing-masing di beranda barat dan beranda timur, hanya kepalanya saja yang nampak. Kepala mereka itulah yang merupakan anak tangga yang harus diinjak kalau orang mau masuk dan keluar rumah adat. Itulah hukuman bagi orang yang tidak berperikemanusiaan yang berhati jahat terhadap saudara dan kakak serta anaknya sendiri.

Guru pertawar reme


Legenda guru Pertawar Reme adalah salah satu legenda yang populer ditengah-tengah masyarakat Karo.
Menurut kabar yang beredar bahwa keberadaan kuburan Guru Pertawar Reme sendiri sampai saat ini masih ada di desa Kandibata, tepatnya disebuah bukit kecil dekat tekongan jalan ke-kiri di Titi Lau Biang.
Pusaran Guru Pertawar Reme juga disebut-sebut masih tetap bersih dan tidak pernah ditumbuhi rerumputan hingga kini, sehingga daerah kuburan tersebut juga terasa sangat angker.
Sementara penamaan desa Kandibata, salah satu desa di Kabupaten Karo saat ini juga disebut-sebut berasal dari Legenda Guru Pertawar Reme ini, dimana kata Kandi bata berasal dari kata kandi-kandi dibata. Yang artinya, karena begitu hebatnya jimat guru pertawar reme yang disimpannya di kendinya dan bisa menghidupkan orang mati, maka disebut kandi-kandi dibata. dan akhirnya desa itu pun bernama Kandibata sampai sekarang.
Guru Pertawar Reme adalah seorang dukun terkenal di kawasan Tanah Karo. Dia mampu mengobati berbagai penyakit termasuk penyakit reme (cacar) yang mengerikan itu. Pada suatu ketika penyakit berkecamuk di daerah Alas (Aceh). Guru Pertawar Reme berangkat ke sana untuk mengobati penyakit tersebut.

Berbulan-bulan lamanya dia di daerah itu dan telah banyak uang diperolehnya sebagai hasil dari pengobatannya. Namun pada suatu hari datang seseorang laki-laki dari Tanah Karo memberitahukan kepadanya bahwa anaknya dalam keadaan sakit keras. Guru Pertawar Reme kurang peduli dan karena merasa bahwa dia memiliki ilmu yang begitu hebat, maka dia berkata : “Tak usah sangsi, asalkan masih ada tulangnya sebesar sisir, dia masih dapat ku sembuhkan.” Si pembawa beritapun pulanglah dengan hati yang kesal.

Setelah lebih kurang 6 bulan berada di daerah Alas, Guru Pertawar Reme pulang ke kampungnya. Namun setelah dia samapi dirumahnya dia tidak menemukan anaknya lagi. Kepadanya dibertahu orang bahwa ketiga anaknya telah meninggal dunia dan telah dikuburkan di kaki Gunung Sibayak.

Guru Pertawar Reme bersama beberapa orang kawanannya pergi ke tempat itu. Kuburan ketiga putrinya itu digalinya dan kerangkanya dikeluarkan. Mulailah Guru Pertawar Reme mengucapkan mantra dan menggunakan semua ilmunya. Namun sia-sia belaka, anaknya tidak dapat muncul, hanya tulang – belulang yang dihadapinya, dia sangat sedih dicobanyalagi, tetapi tetap tidak berhasil. Akhirnya terdengar suara :

“Sudahlah, tidak ada gunanya lagi kami diobati, rupanya nasib kami hanya begini. Kami telah menjadi penunggu dan kramat gunung ini.” Setelah itu hilanglah tulang-tulang terbeut menjelma menjadi batu. Ketiga putrinya itu dikenal dengan nama Beru Tandang Kumerlang, Beru Batu Ernala, dan Beru Baru Erlunglung.

Kuburannya Guru petawar reme sampai sekarang masih ada, yaitu di desa kandibata. Lokasinya persis lewat titi l.au biang desa kandibata. lit kari tekongan jalan ke kiri, ada suatu bukit kecil. di bukit kecil itu ada kuburan tua. Pusarannya bersih, dan tidak pernah ditumbuhi rerumputan. Daerah angker, itulah kuburan guru pertawar remai, yang konon karena saktinya guru mbelin itu bisa menghidupkan dua putrinya yakni tandang suasa dan tandang kumerlap, walau pun nanti tulang belulangnya hanya tersisa sebesar sisir.

Mendengar keangkuhan dan kesombongan guru petawar remai ini, keramat lau biang, melaporkan hal tersebut ke keramat deleng sibayak. e me i kataken nini kertah.ernala Lalu dicurilah tulang belulang dua puteri ini.singkat cerita, saat pulang guru petawar remai tadi dari kuta kalak, tulang belulang dua putrinya itu hilang dari kuburan. saat ayahnya mau menghidupkan kedua putrinya itu kembali. Sampai akhirnya guru mbelin itu melakukan upacara raleng tendi (memanggil roh). Disitulah nini kertah memberi kesempatan terakhir kepada guru petawar remai itu, untuk bicara dengan dua putrinya melalui kain dagangen (kain kafan). Dengan percakapan terakhir anaknya berkata: "regan akapndu emas perak asangkan suasa bapa. Regan akapndu herta asangken anakndu bapa," begitulah penggalan katanya lalu guru pertawar remai itu, merigep alias menerkam kain dagangen ah ndai, i je me lausna tendi anaknya.merasa sia-sia semua kesaktiannya. yang konon jimatnya itu disimpan di dalam kendi kendi, maka dengan sumpahnya di sebuah bukit dekat kaki gunung sibayak, mengatakan, " gundari kuperpeltep ketangkan nge kandi enda ras aq i jenda. adi kune pepagi ersada ketang enda enca kutektek, e maka ersada mulihi aq ras anakku.

Dengan kecewa dan emosi, i tektekna me ketang ndai i je ras kendina. Ketang ndai pe retap, kendi-kendi si isina jimat entah pe adi isitlah guru mbelin pupuk ndai, pe pecah merap marpar la terpumahi. Ban i je ingan perpadanan entah pe sumpah guru mbelin pertawar remai, jenari me ikatakan gelarna deleng pertektekken. Je nari berangkat kita, ku gelar kuta kandi bata ingan guru pertawar remai ndai i kuburken. Kandi bata berasal dari kata kandi-kandi dibata. Yang artinya, karena begitu hebatnya jimat guru pertawar remai yang disimpannya di kendinya dan bisa menghidupkan orang mati, maka disebut kandi-kandi dibata. dan akhirnya desa itu pun bernama Kandibata sampai sekarang.

Legenda Lau Kawar


Het bergmeer van de Sinaboen, Laut Kawar, Karolanden, Sumatra`s Oostkust
Date : 1920-1925
Author niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer)
Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT)



Het meer Lau Kawar aan de voet van de vulkaan Sinabung
Date : 1910-1925
Source: Tropenmuseum


Het meer Laut Kawar in de Karolanden, Sumatra`s Oostkust
Date : 1920-1925

Pada zaman dahulu kala. Tersebutlah sebuah kampung yang subur dan permai, desa Kawar namanya. Di desa itu terdapat sebuah mata air yang dimanfaatkan penduduk sebagai sumber air minum. Penduduknya hidup dari bertani. Dan jika mereka habis panen, biasanya akan digelar Gondang Guro-Guro Aron, musik khas masyarakat Karo. Dalam acara itu penduduk akan bersuka cita, berdendang dan manortor. Remaja lelaki dan perempuan akan manortor berpasang-pasangan. Begitulah cara penduduk Kawar mengadakan selamatan untuk panen yang mereka nikmati.
Pada suatu waktu, Desa Kawar mengalami panen raya. Ini tak pernah terjadi sebelumnya. Hasil panen meningkat dua kali lipat. Lumbung-lumbung penduduk penuh semua dengan padi. Bahkan banyak warga harus membuat lumbung-lumbung baru, supaya dapat menampung hasil panen yang melimpah. Untuk mensyukuri panen raya ini, warga desa Kawar bersepakat untuk mengadakan pesta “Mejuah-juah” satu hari penuh, diisi dengan upacara adat dan makan besar secara bersama.
Hari pesta itu pun tiba. Desa Kawar tampak semarak. Pagi-pagi, warga telah datang ke tempat pesta digelar. Di sebuah lapangan terbuka, di situlah mereka berkumpul. Mereka memakai pakaian aneka warna nan indah. Sebagian kaum perempuan tampak sibuk memasak. Memasak berbagai macam masakan untuk disantap bersama dalam upacara tersebut. Di sebuah rumah di dekat sebuah mata air, tinggallah seorang nenek tua renta. Dia menderita sakit, lumpuh. Ia baru saja melepas kepergian anak, menantu dan cucunya untuk hadir dalam upacara itu. Ia terbaring dalam kesendiriannya. Rasa sepi menyergapnya.
Beberapa saat berlalu. Kemudian, sayup-sayup ia mulai mendengar suara Gondang Guro-guro Aron telah ditabuh. Angin juga membawa suara derai tawa gembira ke telinganya. Ia menebarkan pandangannya ke luar melalui jendela kamar. Ia tersenyum tiap kali mendengar keriuhan pesta itu. Dan teringatlah ia ketika dahulu masih remaja. Lelaki dan perempuan manortor berpasangan-pasangan dan ia ada di antara mereka. Banyak pemuda berlomba ingin berlama-lama manortor dengannya. Maklum, dahulu ia tidak hanya pandai manortor. Ia juga terkenal sebagai kembang desa Kawar. Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Beberapa saat berlalu. Suara keriuhan pesta makin terdengar jelas.
“Ya, Tuhan, betapa aku ingin berada di pesta itu. Aku ingin manortor sepuas hatiku. Tapi, usia tua dan kelumpuhan ini membuatku tak berdaya, ” jeritnya dalam hati. Beberapa saat kemudian airmatanya pun turun berderai. Airmata kerinduan, kesepian dan penyesalan akan nasib. Kadang ia merasa seperti orang tak berguna.
Tiba saatnya makan siang. Musik Gondang dihentikan sementara. Semua warga desa Kawar berkumpul untuk menyantap hidangan makan siang yang telah tersedia. Dengan lahap mereka menyantapnya. Panggang babi dan gulai sapi tersaji bersama nasi yang masih mengepul. Semua bergembira. Sesekali terdengar tawa riuh mereka karena ada saja yang membuat lelucon. Kegembiraan itu menyebabkan mereka lupa pada sang nenek yang terbaring di rumahnya dalam keadaan kelaparan. Anak, menantu dan cucunya juga lupa padanya. Waktu terus berlalu. Sejak tadi si nenek mengharapkan kiriman nasi dan lauknya, yang akan dibawa oleh cucunya, si Tongat. Tapi, tunggu punya tunggu, tak seorang pun yang datang.
Sakit perutnya makin melilit karena didera kelaparan yang sangat. Ia tak kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, ia mencoba turun dari ranjangnya. Tapi, ia kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh. Ia tersungkur ke lantai tanah, karena tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Ia mencoba merangkak. Perlahan dan tertatih ia merangkak menuju ke dapur untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa ia makan. Tapi, tak ada apa-apa. Rupanya, anak dan menantunya hari itu sengaja tidak memasak. Pikir mereka, di tempat pesta akan tersedia banyak makanan, sehingga nanti mereka tinggal mengambilnya dan mengirimkan makanan itu melalui cucunya si Tongat.
Beberapa saat kemudian. Tubuh si nenek tampak gemetar menahan kelaparan. Di dapur ia tak mendapatkan apa-apa. Ia sangat kecewa. Dengan beringsut dan tertatih-tatih ia kembali ke pembaringannya. Nafasnya tersenggal menahan rasa kecewa dan kemarahan. Ia merasa seperti disia-siakan. Kemudian airmatanya berderai meratapi nasibnya penderitaannya.
“Oh Tuhan, aku sudah tak kuat menahan rasa lapar ini,” tangisnya sembilu. ” Mereka sungguh tega membiarkan aku menderita seperti ini, ” ujanya seperti berbisik mengungkapkan rasa kecewanya.
Sementara itu, pesta makan sore dalam upacara itu baru saja usai. Sang anak tiba-tiba teringat pada ibunya di rumah. Ia segera menghampiri istrinya. “Istriku, apakah kamu tadi sudah mengantar makanan untuk ibu?” tanyanya lekas.
“Belum, suamiku, ” jawab sang istri.
“Ibu sudah pasti kelaparan. Segeralah kau bungkus makanannya, lalu suruhlah si Tongat, anak kita, untuk menghantarkannya ke rumah,” perintah sang suami.
“Baiklah,” jawab sang istri.
Wanita itu pun bersegera membungkus makanan, lalu memanggil anaknya. ” Tongat, antarkan makanan ini kepada nenekmu di rumah,” perintahnya kepada sang anak.
“Baik, Bu,” jawab Tongat sambil menerima bungkusan makanan. Ia pun berlari membawa makanan itu pulang. Beberapa saat berlalu. Sesampainya di rumah, Tongat segera menyerahkan bungkusan itu kepada neneknya.
“Ini makanannya, Nek. Tapi, nenek makanlah sendiri karena Tongat harus kembali ke tempat upacara,” ujarnya bergegas kembali.
Dengan sisa tenaga yang ada padanya, sang nenek membuka bungkusan makanan tersebut. Ia telah membayangkan akan menikmati makanan yang lezat. Namun, ketika bungkusan tersebut dia buka, betapa dia kecewa, karena mendapati isinya hanyalah sisa-sisa makanan. Beberapa tulang sapi dan kambing yang hampir sudah dagingnya, dan sedikit sisa nasi. Itulah yang dia dapatkan.
Ia seperti tak percaya apa yang dia lihat. “Ya, Tuhan, apa mereka sudah menganggapku seperti binatang? Mereka hanya memberiku sisa-sisa makanan dan tulang-tulang. Mereka sekarang telah terang-terangan menghinaku. Sungguh, tak dapat kumaafkan penghinaan mereka,” tangis si nenek meledak dalam kemarahan yang sangat.
Sebetulnya, bungkusan tersebut berisi lauk daging yang masih utuh, termasuk di dalamnya babi panggang satu porsi dan nasi yang cukup untuk si nenek. Tetapi, di tengah jalan, si Tongat telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Tiada si nenek mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ia mengira anak dan menantunya tega melakukan hal itu padanya. Dengan perlakuan seperti itu, hatinya terasa hancur. Air matanya terus-menerus mengalir menyesali keadaan yang telah terjadi. Maka ia pun kemudian berdoa kepada penguasa alam untuk mengutuk anak dan menantunya itu.
“Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Sekarang aku menyumpahi mereka,” ujarnya memohon kepada penguasa alam semesta.
Beberepa saat berlalu. Tiba-tiba langit tampak mendung. Guntur dan kilat bertalu-talu memecah langit. Bersamaan turunnya hujan lebat, desa Kawar digoncang oleh gempa bumi.
Seluruh penduduk yang tadinya sangat bersuka cita, seketika menjadi panik. Wajah-wajah ketakutan tampak di mana-mana. Jerit-tangis terdengar di mana-mana. Namun, mereka tak bisa menghindar dari keganasan alam yang dahsyat itu. Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tenggelam oleh hujan deras yang tiada henti selama berhari-hari. Beberapa hari kemudian, desa itu telah beruba menjadi sebuah kawah besar yang dipenuhi genangan air.

 Demikianlah oleh masyarakat Karo ia diberi nama Lau Kawar. Danau yang terletak sekitar 80 km dari Medan.

Putri hijau




Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatra Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, pada tepian sungai Deli--tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli--lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.
Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa kata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli. Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego suku masing-masing.
Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi kesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur.
Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim. Pantun bersahut-sahutan. Tapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.
Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.
Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke kampung Sukanalu. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.
Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli, dan langsung ke Selat Malaka. Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.
Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.

 Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.

Guru saman

Cerita Guru Saman kurang begitu tersiar dihalayak umum, khususnya bagi orang Batak baik berada di kota maupun yang di huta. Kurang tau penyebabnya apa, mungkin saja salah satu alasannya cerita yang konon adalah kejadian nyata dari cerita pengakuan orangtua dulu, bahwa semua karakter Guru Saman yang tidak manusiawi. Pembunuh, preman habis dan urak-urakan.

Mendengar nama Guru Saman, masyarakat begitu menyegani sekaligus sangat membencinya. Banyak yang menghindar apabila melihat apalagi mendekati Guru Saman, karena perbuatannya yang semena-mena jagoan inipun tidak segan-segan untuk berbuat kasar bahkan membunuh semua orang yang dia benci.
Guru Saman, dia adalah seorang turunan Lau Balang yang berasal dari Tanah Karo. Semasa remajanya, Guru Saman belajar ilmu silat (moncak Batak), ilmu kebal tikam dan ilmu hitam lainnya yang didapatkannya dari seorang guru kebatinan. Setelah semua ilmu yang diajarkan gurunya dikuasai, mulailah muncul niat Guru Saman untuk merantau meninggalkan tanah Karo menuju Tanah Tapanuli. Dengan ilmu yang dia miliki membuat dirinya sangat berani kemana saja dihendaki. Bahkan dengan ketenarannya pada saat itu banyak orang yang mengandalkan Guru Saman sebagai pembunuh bayaran. Guru Saman tidak akan pernah segan-segan untuk membunuh manusia, siapa saja termasuk yang tidak disukai atau dibenci Guru Saman.
Hampir seluruh daerah Karo di datangi sembari menujukkan kehebatannya kepada orang-orang. Merek dan Saribu Dolok adalah kampung yang dilaluinya dari jalan-jalan hutan. Disinilah Guru Saman menunjukkan  kehebatannya dengan berbuat semena-mena terhadap orang-orang di perkampungan dan pasar-pasar. Makan dan minum di warung-warung warga tanpa membayar sepeserpun. Jika warga tidak menuruti segala permintaannya, mereka akan menjadi korbannya.
Kemudian dari dua perkampungan tersebut Guru Saman melanjutkan perjalannya menuju Sipahutar melewati SiborongBorong dan Garora. Kedua tempat persinggahan inipun tidak luput dari aksi brutalnya. Minum tuak dan makan paganggang sesukanya, dia akan memaksa orang perkampungan untuk menyediakan makanan meski sudah tidak ada lagi. Jika tidak, dengan wajah sangar sembari menancapkan belati dengan mengancam – darah pemilik warung tuakpun menjadi minumannya sebagai pengganti tuak. Bukan hanya itu, harta dan uang warga juga dia rampok untuk dia hamburkan diatas meja judi.
Setelah beberapa waktu pergi ke Sipahutar, daerah Tapanuli Utara, dia lakukan juga pembunuhan kepada seorang pelayan gereja yang bernama Guru Martin, sekaligus dengan Klara, istri yang sedang berbadan dua. Pembunuhan dilakukan atas desakan Hermanus, kepala desa Sipahutar dan bekas murid Guru Saman. Seminggu sebelumnya Hermanus sekeluarga sempat menyerang Guru Martin saat pasca ibadah gereja. Hermanus merasa tersinggung karena uang pembangunan gereja yang digunakan selama ini disinggung tiba-tiba dalam pertemuan itu. Ketersinggungan itu akhirnya dibawa pulang ke rumah dan menjadi motif kemarahan Guru Saman dan rencana pembunuhan tepat pada Sabtu malam.
Pembunuhan sadis tersebut yang dilakukan oleh Guru Saman adalah akhir hidupnya. Setelah warga Sipahutar mengetahui siapa pembunuh Guru Martin, segera warga pelapor kepada polisi di Tarutung. Guru Saman dan muridnya itu ditangkap dan diadili. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.
Inilah pesan Guru Saman kepada warga yang menyaksikan hukuman tersebut: “Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”
Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.
 Cerita sejarah Guru Saman sudah pernah diangkat dalam bentu drama dan operaoleh para seniman-seniman Batak. Ada motivasi yang diambil dari cerita tersebut diatas yakni tentang sikap orangtua kepada anak-anak agar tidak memancakan anaknya.

Legenda gara mata(Kiras Bangun)




Peranan Kiras Bangun/ Garamata di Tengah Masyarakat Karo
Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang bermakna “Mata Merah”. Masa mudanya ia sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.
Pemerintahan yang ada pada masa itu disebut pemerintahan Urung dan Kampung yang berdiri sendiri/otonomi. Jalannya roda pemerintahan dititikberatkan pada norma-norma adat. Tidak jarang pula terjadi sengketa antar Urung dan antar Kampung dengan motif berbagai macam persoalan.
Pihak-pihak yang bertikai, acap kali mengundang Garamata turut memecahkan persoalan. Dengan sikap jujur, berani dan bertanggung jawab Garamata bertindak tegas tetapi arif dan bijaksana, berlandaskan semboyan “Rakut Sitelu” (Kalimbubu, Sembuyak dan Anakberu) yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bertindak beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang memuaskan semua pihak. Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi, Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang. Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut.
Latar Belakang Ekspansi Belanda ke Tanah Karo
Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.
Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.
Kepopuleran Kiras Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata.
Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.

Timbulnya Permusuhan dengan Belanda
Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo sebagai berikut:
Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.
Keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak. Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.
Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.
Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.
Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda.
Menggalang Kekuatan
Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.
Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.
Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya yang setia.
Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya Surbakti.
Intervensi Belanda di Seberaya Membangkitkan Kemarahan Garamata
Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.
Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.
Batukarang Jatuh
Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.
Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.
Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.
Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904) dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.
Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.
Liren dan Sekitarnya Jadi Basis Perlawanan
Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan.
Dijelaskan bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya tetapi lemah dalam dukungan logistik.
Sebagai daerah penyingkiran semua rencana diatur dari basis ini baik untuk kontak hubungan dengan daerah tetangga maupun mengganggu patroli-patroli Belanda yang secara rutin melewati Liren dan daerah sekitarnya.
Perang Gerilya
Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda dimana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya sekarang kita kalah, besok kita menang.
Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.
Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah.
Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda.
Opportinuteits Beginsiel
Pendudukan Belanda atas Batuk arang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.
Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.
Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.

 Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di perladangan Riung selama 4 tahun.