Het bergmeer van de Sinaboen, Laut Kawar, Karolanden, Sumatra`s Oostkust
Date : 1920-1925
Author niet bekend / unknown (Fotograaf/photographer)
Tropenmuseum of the Royal Tropical Institute (KIT)
Het meer Lau Kawar aan de voet van de vulkaan Sinabung
Date : 1910-1925
Source: Tropenmuseum
Het meer Laut Kawar in de Karolanden, Sumatra`s Oostkust
Date : 1920-1925
Pada suatu waktu, Desa Kawar mengalami panen raya. Ini tak pernah
terjadi sebelumnya. Hasil panen meningkat dua kali lipat.
Lumbung-lumbung penduduk penuh semua dengan padi. Bahkan banyak warga
harus membuat lumbung-lumbung baru, supaya dapat menampung hasil panen
yang melimpah. Untuk mensyukuri panen raya ini, warga desa Kawar
bersepakat untuk mengadakan pesta “Mejuah-juah” satu hari penuh, diisi
dengan upacara adat dan makan besar secara bersama.
Hari pesta itu pun tiba. Desa Kawar tampak semarak. Pagi-pagi, warga
telah datang ke tempat pesta digelar. Di sebuah lapangan terbuka, di
situlah mereka berkumpul. Mereka memakai pakaian aneka warna nan indah.
Sebagian kaum perempuan tampak sibuk memasak. Memasak berbagai macam
masakan untuk disantap bersama dalam upacara tersebut. Di sebuah rumah
di dekat sebuah mata air, tinggallah seorang nenek tua renta. Dia
menderita sakit, lumpuh. Ia baru saja melepas kepergian anak, menantu
dan cucunya untuk hadir dalam upacara itu. Ia terbaring dalam
kesendiriannya. Rasa sepi menyergapnya.
Beberapa saat berlalu. Kemudian, sayup-sayup ia mulai mendengar suara
Gondang Guro-guro Aron telah ditabuh. Angin juga membawa suara derai
tawa gembira ke telinganya. Ia menebarkan pandangannya ke luar melalui
jendela kamar. Ia tersenyum tiap kali mendengar keriuhan pesta itu. Dan
teringatlah ia ketika dahulu masih remaja. Lelaki dan perempuan manortor
berpasangan-pasangan dan ia ada di antara mereka. Banyak pemuda
berlomba ingin berlama-lama manortor dengannya. Maklum, dahulu ia tidak
hanya pandai manortor. Ia juga terkenal sebagai kembang desa Kawar.
Alangkah bahagianya saat-saat seperti itu. Beberapa saat berlalu. Suara
keriuhan pesta makin terdengar jelas.
“Ya, Tuhan, betapa aku ingin berada di pesta itu. Aku ingin manortor
sepuas hatiku. Tapi, usia tua dan kelumpuhan ini membuatku tak berdaya, ”
jeritnya dalam hati. Beberapa saat kemudian airmatanya pun turun
berderai. Airmata kerinduan, kesepian dan penyesalan akan nasib. Kadang
ia merasa seperti orang tak berguna.
Tiba saatnya makan siang. Musik Gondang dihentikan sementara. Semua
warga desa Kawar berkumpul untuk menyantap hidangan makan siang yang
telah tersedia. Dengan lahap mereka menyantapnya. Panggang babi dan
gulai sapi tersaji bersama nasi yang masih mengepul. Semua bergembira.
Sesekali terdengar tawa riuh mereka karena ada saja yang membuat
lelucon. Kegembiraan itu menyebabkan mereka lupa pada sang nenek yang
terbaring di rumahnya dalam keadaan kelaparan. Anak, menantu dan cucunya
juga lupa padanya. Waktu terus berlalu. Sejak tadi si nenek
mengharapkan kiriman nasi dan lauknya, yang akan dibawa oleh cucunya, si
Tongat. Tapi, tunggu punya tunggu, tak seorang pun yang datang.
Sakit perutnya makin melilit karena didera kelaparan yang sangat. Ia tak
kuat. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada padanya, ia mencoba turun dari
ranjangnya. Tapi, ia kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh. Ia tersungkur
ke lantai tanah, karena tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Ia
mencoba merangkak. Perlahan dan tertatih ia merangkak menuju ke dapur
untuk melihat kalau-kalau ada yang bisa ia makan. Tapi, tak ada apa-apa.
Rupanya, anak dan menantunya hari itu sengaja tidak memasak. Pikir
mereka, di tempat pesta akan tersedia banyak makanan, sehingga nanti
mereka tinggal mengambilnya dan mengirimkan makanan itu melalui cucunya
si Tongat.
Beberapa saat kemudian. Tubuh si nenek tampak gemetar menahan kelaparan.
Di dapur ia tak mendapatkan apa-apa. Ia sangat kecewa. Dengan beringsut
dan tertatih-tatih ia kembali ke pembaringannya. Nafasnya tersenggal
menahan rasa kecewa dan kemarahan. Ia merasa seperti disia-siakan.
Kemudian airmatanya berderai meratapi nasibnya penderitaannya.
“Oh Tuhan, aku sudah tak kuat menahan rasa lapar ini,” tangisnya
sembilu. ” Mereka sungguh tega membiarkan aku menderita seperti ini, ”
ujanya seperti berbisik mengungkapkan rasa kecewanya.
Sementara itu, pesta makan sore dalam upacara itu baru saja usai. Sang
anak tiba-tiba teringat pada ibunya di rumah. Ia segera menghampiri
istrinya. “Istriku, apakah kamu tadi sudah mengantar makanan untuk ibu?”
tanyanya lekas.
“Belum, suamiku, ” jawab sang istri.
“Ibu sudah pasti kelaparan. Segeralah kau bungkus makanannya, lalu
suruhlah si Tongat, anak kita, untuk menghantarkannya ke rumah,”
perintah sang suami.
“Baiklah,” jawab sang istri.
Wanita itu pun bersegera membungkus makanan, lalu memanggil anaknya. ”
Tongat, antarkan makanan ini kepada nenekmu di rumah,” perintahnya
kepada sang anak.
“Baik, Bu,” jawab Tongat sambil menerima bungkusan makanan. Ia pun
berlari membawa makanan itu pulang. Beberapa saat berlalu. Sesampainya
di rumah, Tongat segera menyerahkan bungkusan itu kepada neneknya.
“Ini makanannya, Nek. Tapi, nenek makanlah sendiri karena Tongat harus kembali ke tempat upacara,” ujarnya bergegas kembali.
Dengan sisa tenaga yang ada padanya, sang nenek membuka bungkusan
makanan tersebut. Ia telah membayangkan akan menikmati makanan yang
lezat. Namun, ketika bungkusan tersebut dia buka, betapa dia kecewa,
karena mendapati isinya hanyalah sisa-sisa makanan. Beberapa tulang sapi
dan kambing yang hampir sudah dagingnya, dan sedikit sisa nasi. Itulah
yang dia dapatkan.
Ia seperti tak percaya apa yang dia lihat. “Ya, Tuhan, apa mereka sudah
menganggapku seperti binatang? Mereka hanya memberiku sisa-sisa makanan
dan tulang-tulang. Mereka sekarang telah terang-terangan menghinaku.
Sungguh, tak dapat kumaafkan penghinaan mereka,” tangis si nenek meledak
dalam kemarahan yang sangat.
Sebetulnya, bungkusan tersebut berisi lauk daging yang masih utuh,
termasuk di dalamnya babi panggang satu porsi dan nasi yang cukup untuk
si nenek. Tetapi, di tengah jalan, si Tongat telah memakan sebagian isi
bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Tiada si nenek mengetahui kejadian yang sebenarnya. Ia mengira anak dan
menantunya tega melakukan hal itu padanya. Dengan perlakuan seperti itu,
hatinya terasa hancur. Air matanya terus-menerus mengalir menyesali
keadaan yang telah terjadi. Maka ia pun kemudian berdoa kepada penguasa
alam untuk mengutuk anak dan menantunya itu.
“Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Sekarang aku menyumpahi mereka,” ujarnya memohon kepada penguasa alam semesta.
Beberepa saat berlalu. Tiba-tiba langit tampak mendung. Guntur dan kilat
bertalu-talu memecah langit. Bersamaan turunnya hujan lebat, desa Kawar
digoncang oleh gempa bumi.
Seluruh penduduk yang tadinya sangat bersuka cita, seketika menjadi
panik. Wajah-wajah ketakutan tampak di mana-mana. Jerit-tangis terdengar
di mana-mana. Namun, mereka tak bisa menghindar dari keganasan alam
yang dahsyat itu. Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur
tenggelam oleh hujan deras yang tiada henti selama berhari-hari.
Beberapa hari kemudian, desa itu telah beruba menjadi sebuah kawah besar
yang dipenuhi genangan air.
Demikianlah oleh masyarakat Karo ia diberi nama Lau Kawar. Danau yang terletak sekitar 80 km dari Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar