Pirei Sembiring Depari lahir di tahun 1856 di keluarga yang sudah
mempunyai jiwa seni. Dia terlahir sebagai seorang seniman dan seorang
pandai besi (pembuat tumbuk lada) yang berbakat. Pada tahun 1918
hiasannya terhadap tumbuk lada (senjata tradisional Batak Karo,
mempunyai maksud yang sama dengan Keris dari jawa) dirasakan sangat unik
dan istimewa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dari perihal tersebut,
Belanda membawanya ikut ke Betawi untuk berpartisipasi pada ajang
kejuaraan pahat nasional dan hasil pertandingan tersebut diraihnya
dengan mendapat juara 2 nasional dari pemerintah kolonial Belanda
sebagai pemahat dengan ukiran terbaik setelah Bali. Sepulang dari sana,
tembut-tembut buatan pertama dari Pirei, diambil secara paksa oleh
pemerintah Kolonial Belanda untuk dibawa ke Netherland. Hal ini diduga
terkait dengan politik adu domba yang dilakukan Belanda pada saat itu,
karena dalam pandangan belanda: tembut-tembut Seberaya dapat menjadi
fasilitas pemersatu suku di Seberaya (terutama suku di Tanah Karo).
Apresiasi diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda berupa uang
dan medali sebagai hadiah. Sepulang dari Betawi, Pirei Sembiring Depari
menciptakan seni pertunjukkan tembut-tembut dengan awal maksud hanyalah
sebagai hiburan masyarakat semata namun didasari atau dilatarbelakangi
bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa. Proyeksi seni yang dia
berikan pada tembut-tembut ini tercium oleh pemerintah kolonial
Belanda, Idris Sembiring Depari dan Hemat Sembiring Depari sebagai
generasi ke 3 keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa pemerintah
kolonial Belanda sangat menaruh perhatian yang besar terhadap
tembut-tembut Seberaya, dan berniat memilikinya secara pribadi. Prosesi
pengenalan terhadap masyarakat tersebut ternyata menjadi awal kesakralan
dari prosesi pementasan tembut-tembut ini.
Tahun 1900-an hal-hal yang bersifat mistis/magis mulai merasuki ranah
seni pertunjukkan tembut-tembut semenjak ia digunakan sebagai Subyek
(pelaku) prosesi upacara pemanggilan hujan akibat kemarau yang panjang
di Desa Seberaya. Dwikora Sembiring Depari sebagai generasi ke 4
keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa rupa tembut-tembut dan nilai
magis yang melekat padanya membuat masyarakat karo pada umumnya sangat
takut terhadap tari topeng ini. Dengan kata lain, maksud dan tujuan dari
pemahat topeng (Pirei Sembiring Depari) ketika menciptakan
tembut-tembut (seni pertunjukkan) sudah dapat dikatakan telah sukses
melekat pada masyarakat Seberaya dan masyarakat Karo pada umumnya. Kata
tembut-tembut sendiri, berasal dari kata tembut atau nembut-nembuti yang
berarti menakut-nakuti, hal ini mempunyai arti yang sama dengan
gundala-gundala. Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat Karo masih
sangat dibingungkan dengan pemahaman ke dua hal tersebut yaitu
tembut-tembut atau gundala-gundala.
Berdasarkan hasil percakapan dengan Kakek sebelumnya yang dilakukan
oleh Dwikora, perbedaan antara tembut-tembut dan gundala-gundala
terdapat pada makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun arti yang
dibawakannya sama namun makna yang terkandung adalah berbeda. Wawancara
yang dilakukan oleh Dwikora terhadap Generasi ke 2 pertembut-tembut
sebelumnya mengatakan bahwa kata gundala-gundala berasal dari
orang-orangan sawah yang berfungsi untuk menakut-nakuti burung, namun
orang-orangan sawah ini umumnya digerakkan oleh petani dari rumah
kecil/sapo yang ada di ladang (orang-orang sawah yang digerakkan). Hal
ini berbeda dengan tembut-tembut, makna tembut-tembut yang terkandung di
dalamnya mengandung arti menakut-nakuti namun dapat bergerak dan
berpindah untuk menakut-nakuti orang yang mempunyai niat jahat. Dari
penjelasan ini, maka sangat jelaslah bahwa cerita yang dibawakan oleh
tembut-tembut Seberaya memiliki latar belakang kisah dari penciptanya
yaitu Pirei Sembiring Depari. Kisah tembut-tembut Seberaya dilatar
belakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek Pirei yang melintasi ladang
padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya kehidupan
suku di seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar
ladang padi-nya membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung
yang mengganggu proses pertanian tersebut.
Awal inspirasi kakek pirei membuat tembut-tembut tersebut berasal
dari pengalaman ini. Hingga saat ini, cerita dan pengalaman baru pun
mengisi celah budaya dalam ranah tarian topeng sakral ini. Karena apa
yang dibawakan oleh tembut-tembut merupakan sebuah sejarah lisan, maka
perlu banyak hal yang harus digali dan diluruskan kejadiaanya agar tidak
melenceng jauh dari sejarah yang ada. Dwikora menjelaskan secara
detail, bahwa sebelumnya di Desa Seberaya, Marga Sembiring Depari
merupakan kaum minoritas karena simateki taneh/Raja yang di Desa
Seberaya adalah bermarga Karo sekali (Raja Urung Karo Sekali). Hipotesa
yang terjadi adalah Bagaimana bisa orang yang bukan berasal dari desa
tersebut memiliki tapak dan ladang di Desa Seberaya saat ini?.
Perkiraan yang dangkal terhadap kisah ini adalah mungkin karena Kakek
Pirei Sembiring Depari sangat pintar bergaul, bersahabat dan berteman
dengan siapa saja sehingga tumbuh niat dari seseorang memberikan tanah
dan tapaknya secara ikhlas untuk rumah dan ladang kepada Pirei, atau
dapat dikatakan bahwa pada saat itu, pasti kakek Pirei telah melakukan
suatu jasa yang besar terhadap raja atau orang yang ada di sekitarnya,
sehingga dengan jasanya tersebut dia diberikan tapak untuk rumah dan
ladang untuk bertani. Rangkaian cerita inilah yang membawanya pada makna
tembut-tembut itu sendiri, bahwa sebagai penjaga desa, Pirei Sembiring
Depari mempunyai tugas untuk mengawal, menjaga Desa Seberaya dari
orang-orang yang mempunyai niat jahat pada Desa Seberaya.
Dengan kata lain, Pirei Sembiring Depari adalah Tembut-tembut itu
sendiri. Dari uraian tersebut maka tersimpulkanlah kata tembut-tembut
yang berasal dari Seberaya. Oleh sebab itu hingga saat ini, seluruh
keturunan dari Kakek Pirei Sembiring di juluki keturunan
Pertembut-tembut Seberaya bukan Pergundala-gundala Seberaya seperti yang
diasumsikan selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar