Kamis, 05 September 2013

Tembut tembut seberaya

Pirei Sembiring Depari lahir di tahun 1856 di keluarga yang sudah mempunyai jiwa seni. Dia terlahir sebagai seorang seniman dan seorang pandai besi (pembuat tumbuk lada) yang berbakat. Pada tahun 1918 hiasannya terhadap tumbuk lada (senjata tradisional Batak Karo, mempunyai maksud yang sama dengan Keris dari jawa) dirasakan sangat unik dan istimewa oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dari perihal tersebut, Belanda membawanya ikut ke Betawi untuk berpartisipasi pada ajang kejuaraan pahat nasional dan hasil pertandingan tersebut diraihnya dengan mendapat juara 2 nasional dari pemerintah kolonial Belanda sebagai pemahat dengan ukiran terbaik setelah Bali. Sepulang dari sana, tembut-tembut buatan pertama dari Pirei, diambil secara paksa oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk dibawa ke Netherland. Hal ini diduga terkait dengan politik adu domba yang dilakukan Belanda pada saat itu, karena dalam pandangan belanda: tembut-tembut Seberaya dapat menjadi fasilitas pemersatu suku di Seberaya (terutama suku di Tanah Karo).
Apresiasi diberikan oleh pemerintahan kolonial Belanda berupa uang dan medali sebagai hadiah. Sepulang dari Betawi, Pirei Sembiring Depari menciptakan seni pertunjukkan tembut-tembut dengan awal maksud hanyalah sebagai hiburan masyarakat semata namun didasari atau dilatarbelakangi bekal petualangan Pirei ke beberapa pelosok desa. Proyeksi seni yang dia berikan pada tembut-tembut ini tercium oleh pemerintah kolonial Belanda, Idris Sembiring Depari dan Hemat Sembiring Depari sebagai generasi ke 3 keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda sangat menaruh perhatian yang besar terhadap tembut-tembut Seberaya, dan berniat memilikinya secara pribadi. Prosesi pengenalan terhadap masyarakat tersebut ternyata menjadi awal kesakralan dari prosesi pementasan tembut-tembut ini.
Tahun 1900-an hal-hal yang bersifat mistis/magis mulai merasuki ranah seni pertunjukkan tembut-tembut semenjak ia digunakan sebagai Subyek (pelaku) prosesi upacara pemanggilan hujan akibat kemarau yang panjang di Desa Seberaya. Dwikora Sembiring Depari sebagai generasi ke 4 keturunan pertembut-tembut mengatakan bahwa rupa tembut-tembut dan nilai magis yang melekat padanya membuat masyarakat karo pada umumnya sangat takut terhadap tari topeng ini. Dengan kata lain, maksud dan tujuan dari pemahat topeng (Pirei Sembiring Depari) ketika menciptakan tembut-tembut (seni pertunjukkan) sudah dapat dikatakan telah sukses melekat pada masyarakat Seberaya dan masyarakat Karo pada umumnya. Kata tembut-tembut sendiri, berasal dari kata tembut atau nembut-nembuti yang berarti menakut-nakuti, hal ini mempunyai arti yang sama dengan gundala-gundala. Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat Karo masih sangat dibingungkan dengan pemahaman ke dua hal tersebut yaitu tembut-tembut atau gundala-gundala.
Berdasarkan hasil percakapan dengan Kakek sebelumnya yang dilakukan oleh Dwikora, perbedaan antara tembut-tembut dan gundala-gundala terdapat pada makna yang tersimpan di dalamnya. Walaupun arti yang dibawakannya sama namun makna yang terkandung adalah berbeda. Wawancara yang dilakukan oleh Dwikora terhadap Generasi ke 2 pertembut-tembut sebelumnya mengatakan bahwa kata gundala-gundala berasal dari orang-orangan sawah yang berfungsi untuk menakut-nakuti burung, namun orang-orangan sawah ini umumnya digerakkan oleh petani dari rumah kecil/sapo yang ada di ladang (orang-orang sawah yang digerakkan). Hal ini berbeda dengan tembut-tembut, makna tembut-tembut yang terkandung di dalamnya mengandung arti menakut-nakuti namun dapat bergerak dan berpindah untuk menakut-nakuti orang yang mempunyai niat jahat. Dari penjelasan ini, maka sangat jelaslah bahwa cerita yang dibawakan oleh tembut-tembut Seberaya memiliki latar belakang kisah dari penciptanya yaitu Pirei Sembiring Depari. Kisah tembut-tembut Seberaya dilatar belakangi berdasarkan pengalaman dari Kakek Pirei yang melintasi ladang padi ketika hendak berpetualang dan melihat bagaimana rukunnya kehidupan suku di seberaya yang terdiri dari keluarga-keluarga yang ingin agar ladang padi-nya membuahkan hasil yang besar namun banyak burung-burung yang mengganggu proses pertanian tersebut.
Awal inspirasi kakek pirei membuat tembut-tembut tersebut berasal dari pengalaman ini. Hingga saat ini, cerita dan pengalaman baru pun mengisi celah budaya dalam ranah tarian topeng sakral ini. Karena apa yang dibawakan oleh tembut-tembut merupakan sebuah sejarah lisan, maka perlu banyak hal yang harus digali dan diluruskan kejadiaanya agar tidak melenceng jauh dari sejarah yang ada. Dwikora menjelaskan secara detail, bahwa sebelumnya di Desa Seberaya, Marga Sembiring Depari merupakan kaum minoritas karena simateki taneh/Raja yang di Desa Seberaya adalah bermarga Karo sekali (Raja Urung Karo Sekali). Hipotesa yang terjadi adalah Bagaimana bisa orang yang bukan berasal dari desa tersebut memiliki tapak dan ladang di Desa Seberaya saat ini?.
Perkiraan yang dangkal terhadap kisah ini adalah mungkin karena Kakek Pirei Sembiring Depari sangat pintar bergaul, bersahabat dan berteman dengan siapa saja sehingga tumbuh niat dari seseorang memberikan tanah dan tapaknya secara ikhlas untuk rumah dan ladang kepada Pirei, atau dapat dikatakan bahwa pada saat itu, pasti kakek Pirei telah melakukan suatu jasa yang besar terhadap raja atau orang yang ada di sekitarnya, sehingga dengan jasanya tersebut dia diberikan tapak untuk rumah dan ladang untuk bertani. Rangkaian cerita inilah yang membawanya pada makna tembut-tembut itu sendiri, bahwa sebagai penjaga desa, Pirei Sembiring Depari mempunyai tugas untuk mengawal, menjaga Desa Seberaya dari orang-orang yang mempunyai niat jahat pada Desa Seberaya.

Dengan kata lain, Pirei Sembiring Depari adalah Tembut-tembut itu sendiri. Dari uraian tersebut maka tersimpulkanlah kata tembut-tembut yang berasal dari Seberaya. Oleh sebab itu hingga saat ini, seluruh keturunan dari Kakek Pirei Sembiring di juluki keturunan Pertembut-tembut Seberaya bukan Pergundala-gundala Seberaya seperti yang diasumsikan selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar