Selasa, 03 September 2013

Sistem perkawinan orang karo

Telah di jelaskan dalam judul sebelumnya bahwa orang karo yang memiliki  marga (Pria) dan Beru(perempuan) yang sama tidak dapat melakukan pernikahan. Itu dikarenakan kedua orang tersebut memiliki nenek moyang yang sama. Tapi tidak begitu halnya dengan sembiring dan peranginangin. dua marga ini dapat melakukan perkawin dengan orang yang bermarga/beru yang sama.
Berdasarkan proses terjadinya perkawinan, dapat dibagi atas perkawinan suka sama suka (saling mencintai) dan perkawinan atas dasar prakarsa atau peranan orang tua (baca : dijodohkan), yang biasanya terjadi untuk mempertahankan hubungan kekeluargaan atau karena seorang wanita telah hamil.

Berdasarkan status dari pihak yang kawin, dapat dibagi menjadi :

1. Gancih Abu (ganti tikar)
Yaitu bila seorang wanita menikah dengan seorang pria untuk menggantikan kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai isteri. Hal ini biasanya terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak pada perkawinan pertama, dan juga untuk menjaga keutuhan harta dari perkawinan pertama.

2. Lako Man (turun ranjang)
Yaitu apabila seorang pria kawin dengan seorang wanita yang tadinya adalah bekas isteri saudaranya yang telah meninggal dunia.

Adapun jenis-jenis dari Lako Man adalah :

Mindo Nakan.
Yaitu suatu perkawinan antara seorang pria dengan wanita mantan isteri saudara ayahnya.

Mindo Cina.
Yaitu perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang secara tutur adalah neneknya.

Kawin Ciken.
Perkawinan antara seorang pria dengan wanita mantan isteri ayah/saudaranya yang telah dijanjikan sebelumnya. Hal ini terjadi pada zaman dahulu disebabkan seorang wanita yang masih sangat muda dikawinkan dengan pria yang sudah tua, lalu dibuat perjanjian bahwa salah seorang dari putra/saudaranya sebagai ciken (tongkat) apabila suaminya kelak meninggal dunia.

Pada jaman dahulu bila seseorang memiliki dua orang isteri dan salah seorang diantaranya belum memiliki keturunan laki-laki, dan pada pihak yang lain, salah seorang saudara dari suaminya belum memiliki isteri, maka isteri yang belum memiliki keturunan laki-laki tersebut dapat disahkan menjadi isteri saudara suaminya tersebut, dengan harapan agar tetep terpeliharanya hubungan kekeluargaan dengan pihak wanita, dan diperolehnya keturunan dengan suami barunya. Contohnya lihat dalam kasus Pustaka Kembaren dancerita Pincawan dan Lambing (Sebayang). Hal itulah yang terjadi dalam merga Sebayang dan Pencawan dan Kembaren (Sijagat) dengan Kembaren Perti.
Ngalih. Yaitu lako man kepada isteri abang (kaka).
Ngianken. Yaitu lako man kepada isteri adik (agi).

3. Piher Tendi/Erbengkila bana. 
Adalah perkawinan antara orang yang menurut tutur, si wanita memanggil bengkila kepada suaminya. Di daerah Karo Langkat ini disebut perkawinan Piher Tendi.


Berdasarkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan, dikenal empat jenis perkawinan yakni :

Petuturken.
Suatu perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita yang bukan 'rimpal'. Perkawinan demikian diperbolehkan oleh adat sejauh tidak ada larangan seperti : erturang (satu merga) untuk Ginting, Karo-Karo dan Tarigan, kecuali Perangin-angin dan Sembiring. Dimana sub merga Perangin-angin yaitu Sebayang diperbolehkan kawin dengan Kuta Buluh/Sukatendel, Bangun dengan Sebayang dan lainnya. Juga dalam sub merga Sembiring, antara Sembiring Brahmana dengan Meliala.

Erdemu Bayu.
Perkawinan antara seorang pria dan wanita dimana ayah si wanita bersaudara dengan ibu si pria, yang dalam tutur mereka disebut 'rimpal'. Atau si wanita disebut beru puhun atau beru singumban dari pria, dan perkawinan seperti inilah yang diharapkan dalam adat Karo.

Merkat Sinuan.
Adalah sebuah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita puteri dari 'puang kalimbubunya'. Perkawinan seperti ini biasanya sangat dihindarkan dalam adat karena tutur mereka adalah 'erturangku'.

La Arus.
Adalah perkawinan antara pria dengan wanita yang secara adat adalah terlarang, seperti mengawini turang, turang impal atau puteri anak beru. Untuk melangsungkan perkawinan seperti ini harus ada sanksi adat, seperti terjadi pada rumah empat tundok di Kuta Buluh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar