Si Beru Dayang
adalah istilah masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara, untuk menyebut
nama tanaman padi. Konon, padi atau beras yang kini menjadi makanan
pokok masyarakat Tanah Karo merupakan penjelmaan seorang anak laki-laki
yang bernama Si Beru Dayang. Bagaimana Si Beru Dayang dapat menjelma
menjadi tanaman padi?
Ikuti kisahnya dalam cerita Si Beru Dayang berikut
ini!
Alkisah, di Tanah Karo, Sumatera Utara, Indonesia, berdiri sebuah negeri
yang dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Saat itu,
penduduk negeri itu belum mengenal tanaman padi. Makanan pokok mereka
adalah buah kayu yang banyak terdapat di sekitar mereka. Meski hanya
menggantungkan hidup pada buah kayu tersebut mereka dapat hidup makmur
dan sejahtera.
Suatu ketika, kemarau panjang melanda negeri tersebut sehingga pepohonan
yang baru saja mulai berbuah menjadi layu. Malapetaka itu pun
menyebabkan seluruh penduduk negeri menderita kelaparan. Tubuh mereka
tampak lemah dan kurus karena kekurangan makanan. Di antara penduduk
tersebut tampak seorang anak laki-laki yang sudah yatim bernama si Beru
Dayang sedang menangis di pangkuan ibunya. Tubuh bocah itu kurus kering
dan wajahnya sangat pucat. Bocah itu kemudian merengek-rengek minta
makan kepada ibunya.
“Ibu, aku lapar... Aku mau makan Bu,” rengek anak itu.
Tangisan si Beru Dayang benar-benar menyayat hati ibunya. Namun, sang
ibu tak dapat menolongnya. Ia hanya bisa meneteskan air mata sambil
merangkul anak semata wayangnya. Semakin lama tubuh si Beru Dayang
semakin lemas hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dalam
pangkuan sang ibu. Melihat anaknya tidak bernyawa lagi, sang ibu
seketika menangis histeris.
“Anakku, jangan tinggalkan Ibu nak!” tangis sang ibu sambil merangkul erat anaknya.
Para warga yang mengetahui hal itu segera mengubur si Beru Dayang di
makam perkampungan. Sejak kepergian anaknya, kesedihan sang ibu semakin
bertambah karena hidupnya semakin sepi. Orang-orang yang ia cintai dan
sayangi semuanya telah pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
“Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Semua yang aku miliki telah sirna,” kata ibu itu dengan putus asa.
Ibu si Beru Dayang pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dengan
tubuh yang lemah, ia berjalan menuju ke sungai yang berada di ujung
kampung. Setiba di tepi sungai, ia berdoa kepada Dewata agar segera
merenggut nyawanya.
“Ya, Dewata Yang Maha Agung! Hilangkanlah kesedihan dan nestapa hamba untuk selamanya!” pinta ibu itu.
Usai berucap demikian, ibu si Beru Dayang langsung terjun ke dalam
sungai yang dalam. Sungguh ajaib, begitu tubuhnya menyentuh air,
tiba-tiba ia menjelma menjadi seekor ikan. Tak seorang pun warga yang
menyaksikan peristiwa ajaib itu karena mereka semua hanya memperdulikan
diri sendiri yaitu bergelut melawan rasa lapar.
Sudah beberapa bulan telah berlalu, namun musim kemarau belum juga
berakhir. Semua tumbuh-tumbuhan telah mengering bagaikan habis terbakar.
Korban pun semakin banyak yang berjatuhan. Hampir setiap hari terdengar
isak tangis kematian yang memilukan di negeri itu.
Sementara itu, warga yang masih kuat bertahan berupaya mencari makanan
untuk sekadar pangganjal perut. Di tengah padang yang kering kerontang
tampak dua orang anak kecil sedang mengais-ngais tanah untuk mencari
umbi-umbian. Setelah beberapa saat mengais tanah, salah seorang dari
mereka menemukan buah berbentuk bulat sebesar buah labu.
“Hai, lihat! Buah apa yang aku temukan ini?” tanya salah seorang dari anak itu.
Anak yang satunya segera mendekati temannya. Ia hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala setelah mengamati buat itu pertanda tidak
tahu karena ia sendiri belum pernah melihat buah seperti itu.
Akhirnya, kedua anak tersebut membawa pulang buah itu untuk ditunjukkan
kepada orang tua mereka. Ternyata orang tua mereka juga tidak tahu
mengenai buah itu karena baru kali itu melihatnya. Penemuan buah yang
asing oleh kedua anak tersebut membuat gempar seluruh penduduk negeri.
Sang Raja yang mendapat laporan dari salah seorang warga pun berkenan
datang untuk melihatnya. Saat raja dan para penduduk berkumpul melihat
buah itu, tiba-tiba terdengar suara dari angkasa.
“Wahai penduduk negeri! Buah yang ada di hadapan kalian adalah
penjelmaan seorang anak laki-laki kecil yang bernama Si Beru Dayang.
Potong-potonglah buah itu hingga halus dan kemudian tanamlah hingga
tumbuh menjadi subur. Jika buah penjelmaan Si Beru Dayang itu kalian
pelihara dengan baik, kelak akan berbuah dan menjadi makanan kalian.
Anak itu sangat merindukan ibunya. Pertemukanlah ia dengan ibunya yang
telah menjelma menjadi ikan di sungai! Niscaya kalian tidak akan
kelaparan lagi,” ujar suara ajaib itu.
Tanpa berpikir panjang, sang raja segera memerintahkan rakyatnya untuk
melaksanakan semua pesan yang disampaikan oleh suara itu. Para warga pun
segera memotong-motong buah itu hingga halus, kemudian mereka tanam dan
rawat dengan baik. Bersamaan dengan itu, kemarau pun berakhir. Hujan
deras pun mulai turun sehingga potongan-potongan buah itu tumbuh dengan
subur menjadi tanaman yang menyerupai rumput.
Dua bulan kemudian, tamanan itu berbunga dan berbuah. Buahnya berbulir
atau bergerombol dalam setiap tangkai. Setelah genap tiga bulan, buah
tanaman itu pun menguning dan siap untuk dipanen. Sang raja bersama
seluruh rakyatnya pun segera memanen buah itu dengan suka ria. Setelah
dipanen, buah itu kemudian mereka jemur dan tumbuk untuk memisahkan
kulit dengan isinya. Isinya itulah kemudian mereka masak dan cicipi
bersama-sama.
“Hmmm... rasanya enak dan gurih,” kata sang raja setelah mencicipi masakan itu.
Sejak itulah, penduduk Tanah Karo membibit dan memelihara tanaman yang
kemudian mereka sebut Beru Dayang. Makanan pokok mereka yang semula dari
buah kayu pun beralih ke Beru Dayang. Untuk mempertemukan Si Beru
Dayang dengan ibunya, masyarakat Tanah Karo menyantap makanan itu
bersama dengan ikan yang dipercaya sebagai penjelmaan dari ibu Beru
Dayang.
Ternyata, buah tanaman yang sering mereka sebut Beru Dayang itu adalah
padi. Meski demikian, masyarakat Tanah Karo tetap menyebut buah padi itu
dengan istilah Beru Dayang. Bahkan, mereka memiliki beberapa nama untuk
menyebut Beru Dayang tersebut seperti si Beru Dayang Merengget-engget
yaitu ketika tanaman padi masih berumur enam hari, dan si Beru Dayang
Meleduk yakni ketika tanaman padi sudah berumur satu bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar