Guru adalah terminologi umum bagi orang Karo untuk menyebut seseorang
yang berperan sebagai tabib. Beberapa orang Karo lainnya mensinonimkan
kata guru dengan kata dukun. Guru ini sangat berperan dalam
ritual-ritual keagamaan atau upacara-upacara tradisional bagi orang
Karo. Upacara tradisional dapat didefenisikan sebagai upacara yang
diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam
bentuk tata cara yang relaif tetap. Pendukungan terhadap upacara itu
dilakukan masyarkat karena dirasakan dapat memenuhi suatu kebutuhan,
baik secara individual maupun kelompok bagi kehidupan mereka.
Upacara-upacara keagamaan tradisional yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional Karo
yang disebut dengan pemena.
Demikian juga halnya dengan apa yang disebut dengan guru. Konsep guru
ini berhubungan erat dengan kepercayaan tradisional Karo yang disebut
pemena atau perbegu. Penyebutan kata pemena ini disepakati sejak tahun
1946 oleh para pengetua adat dan guru-guru mbelin (dukun/tabib
terkenal). Perubahan kata dari perbegu menjadi pemena ini dimaksudkan
untuk menghilangkan kesalahpahaman orang-orang di luar orang Karo atas
pengertian kata perbegu. Kataperbegu bagi orang di luar orang Karo
seolah-olah menunjuk ke arah penyembahan kepada setan, hantu dan roh
jahat lainnya. Sementara kata pemena berarti asli, berasal dari kata
bena yang berarti awal atau yang pertama (asli). Jadi kata pemena dapat
diartikan merupakan kepercayaan yang asli (pertama) dari orang-orang
Karo sebelum masuknya pengaruh agama seperti Katolik, Islam, Protestan,
Hindu dan Budha.
Orang Karo meyakini bahwa alam semesta diisi oleh sekumpulan tendi.
Setiap titik dalam “kosmos” mengandung tendi. Kesatuan dari keseluruhan
tendi yang mencakup segalanaya ini disebut Dibata, sebagai kesatuan
totalitas dari “kosmos” (alam semesta). Setiap manusia dianggap sebagai
“mikro-kosmos” (semesta kecil) yang merupakan kesatuan bersama dari kula
(tubuh), tendi (jiwa), pusuh peraten (perasaan), kesah (nafas), dan
ukur (pikiran). Setiap bagian berhubungan satu sama lain. Kesatuan ini
disebut sebagai ‘keseimbangan dalam manusia’. Hubungan yang kacau atau
tidak beres antara satu sama lain dapat menyebabkan berbagai bentuk
kerugian seperti sakit, malapetaka, dan akhirnya kematian.
Orang Karo meyakini bahwa alam sekitar diri manusia sendiri dianggap
sebagai “makro-kosmos”. Alam sekitar ini digolongkan ke dalam beberapa
inti kehidupan yang masing-masing dikuasai oleh nini beraspati (nini =
nenek), yaitu; beraspati taneh (inti kehidupan tanah), beraspati rumah
(inti kehidupan rumah), beraspati kerangen (inti kehidupan hutan),
beraspati kabang (inti kehidupan udara). Dalam ornamen Karo, nini
beraspati ini dilambangkan dengan gambar cecak putih yang dianggap
sebagai pelindung manusia.
Beraspati, oleh penganut pemena atau guru khususnya dibagi lagi ke dalam
beberapa jenis lingkungan alam atau tempat dan keadaan. Beraspati lau
(inti kehidupan air) misalnya, dibedakan lagi atas sampuren (air
terjun), lau sirang (sungai yang bercabang), tapin (tempat mandi di
sungai) dan lain-lain. Beraspati rumah (inti kehidupan rumah) dibagi
lagi atas bubungen (bubungan), pintun (pintu), redan (tangga), palas
(palas), daliken (tungku dapur), para (tempat menyimpan alat-alat
masakdi atas tungku dapur) dan lain-lain. Beraspati taneh dibedakan atas
kerangan (hutan), deleng (gunung), uruk (bukit), kendit (tanah datar),
embang (jurang), lingling (tebing), mbal-mbal (padang rumput).
Ini yang menjadi dasar setiap guru di Karo selalu mengadakan persentabin
(mohon ijin) kepada nini beraspati sebelum melakukan upacara ritual,
tergantung dalam konteks mana upacara akan dilakukan, apakah kepada
beraspati taneh, beras pati air, beraspati kerangen atau beraspati
kabang dan kadang-kadang para guru menggabungkan beberapa beraspati yang
dianggap penting dapat membantu kesuksesan suatu upacara ritual yang
mereka adakan, seperti dalam upacara
perumah begu seorang guru si baso mengadakan persentabin kepada
beraspati taneh dan beraspati rumah agar meraka masing-masing sebagai
inti kehidupan tersebut tidak mengganggu atau menghambat jalannya
upacara. Biasanya dilakukan dengan meletakkan sirih yang disebut belo
cawir (sirih, kapur, pinang dan gambir). Belo cawir ini merupakan
lambang diri manusia.
Sirih dalam belo cawir sebagai lambang tubuh manusia, kapur lambang dari
darah putih sesuai dengan warnanya putih, pinang dan gambir adalah
lambang dari darah merah manusia karena perpaduan keduanya memberi warna
merah. Adanya kehidupan pada manusia disebabkan bekerjanya ketiga unsur
tersebut sebagai metabolisme tubuh manusia yang saling mengatur
peredaran darah dalam tubuh.
Mantra (Karo = tabas) yang dipakai guru dalam rangka persentabin kepada
beraspati taneh dan beraspati rumah adalah sebagai berikut:
“enda ku sentabi kel aku o nini beraspati taneh kenjulu kenjahe sider
bertengna, cibal beloku, belo cawir, pinang cawir, kapur meciho, pinang
meciho maka meciholah penuri-nurin Dibata si lakuidah. Maka ula kari
abat ula kari alih, enda persentabinku, o nini beraspati
rumah ujung kayu bena kayu".
("Ini aku datang memohon ijin kepada nenek sebagai inti kehidupan tanah
dari segala sisi, kuletakkan sirih permohonanku, terdiri dari sirih
bersih dan bagus demikian juga pinangnya, kapur yang putih bersih dan
terang atau jelaslah keterangan dan petunjuk dari Dibata yang tidak
terlihat. Supaya tidak ada yang menghalangi upacara ini, permohonan ijin
dariku, kepada nenek beraspati rumah, baik yang ada di ujung kayu
ataupun di pangkal kayu".)
Disamping hal di atas, kosmologi Karo mempunyai perbedaan yang sifatnya
umum antara alam gaib dan alam biasa. Alam gaib diatunjukkan dengan
pemakaian kata ijah (di sana) dan alam manusia biasa dengan kata ijenda
(di sini). Dalam peristiwa pemanggilan roh-roh orang mati tersebut
berasal/datang dari negeri seberang, sedangkan alam biasa tempat
kehidupan manusia disebut doni enda (dunia ini). Ini menunjukkan bahwa
alam gaib itu berbeda jauh dengan alam tempat kehidupan manusia, tidak
ada seorangpun yang tahu pasti dimana, hal ini terutama
menandakan bahwa roh-roh yang telah mati tidak sama dengan manusia yang
hidup. Ini dibuktikan dengan kata seberang yang dalam pengertian para
guru dianggap maelewati suatu batas yang ditandai oleh lau (air),
sehinga disebut negeri seberang, harus menyeberangi sesuatu untuk sampai
ke tempat tersebut yang disebut sebagai i jah (di sana). Dalam hal ini
diungkapkan bahwa lau (air) merupakan penghubung antara manusia dan
roh-roh yang telah mati. Hal ini pula yang menyebabkan banyak guru
memakai air yang ditempatkan dalam satu mangkuk putih, terutama jika
guru merasa bahwa penyebab dari keadaan yang tidak seimbang pada diri
manusia tersebut disebabkan karena ada hubungannya dengan roh-roh orang
mati yang mengganggu.
Sebutan i jah dan i jenda tidak berarati adanya suatu wujud pasti
tertentu sebagai alam gaib. Kata tersebut di atas hanya untuk membedakan
alam gaib dengan alam biasa. Alam gaib sendiri berada bersama-sama di
sekitar manusia. Semua tempat sekitar manusia adalah juga alam gaib,
namun alam gaib tersebut digambarkan sebagai suatu alam yang tidak
terlihat dan tanpa wujud, karaena itulah disebuat deangan i jah (di
sana), manusia tidak tahu pasti tempat dan wujudnya.
Bagi orang Karo, guru adalah sebutan untuk orang-orang tertentu yang
dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai praktek dan kepercayaan
tradisional, seperti: meramal, membuat upacara ritual, berhubungan
dengan roh atau mahluk gaib, perawatan serta penyembuhan kesehatan dan
lain-lain. Guru dianggap memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai
berbagai hal yang
berhubungan dengan kehidupan.
Dalam mengadakan hubungan dengan roh-roh orang yang telah meinggal,
seorang guru dapat melakukannya dengan bantuan jenujung, khususnya
mereka yang dijulluki sebagai guru si baso melalui ritual perumah begu
atau perumah tendi. Guru mengatakan bahwa hubungan itu dapat dilakukan
melalui perantaraan angin si lumang-lumang (angin yang berhembus).
Sehubungan dengan itu, dikatakan juga bahwa arwah orang yang telah
meninggal mempunyai kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan
manusia. Arwah itu tinggal di taneh kesilahen dengan keadaan; berngi
suarina, pagi berngina. Artinya, malam bagi arwah adalah siang bagi kita
manusia dan pagi bagi arwah adalah malam bagi kita manusia. Itulah yang
merupakan penyebab mengapa dikatakan begu banyak berkeliaran di malam
hari.
Alam gaib dikatakan juga sebagai alam jiwa. Keseluruhan alam gaib
disebut pertendiin (kejiwaan). Hal ini berkaitan dengan kepercayaan
orang Karo yang sangat erat dengan tendi (jiwa). Oleh karena itu
hubungan manusia dengan alam gaib hanya dapat dilakukan melalui jiwa
yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Itulah sebabnya dalam melakukan
hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal, seorang guru (guru si
baso) menggunakan tendinya dengan bantuan tendi-tendi lain yang disebut
jenujung (junjungan). Junjungan ini adalah sebagai kekuatan dari luar
diri seorang guru yang dapat membantunya sebagai roh gaib pelindung yang
berasal dari “makro-kosmos”.
Menurut seorang guru Pa Jawi (bukan nama sebenarnya), mengatakan bahwa:
“I bas inganta enda pe melala kel orang-orang alus si la teridah bagi
kalak si la dua lapis perngenin matana, bage pe keramat seh kel lalana,
tiap-tiap kerangen lit sada keramatna, tiap keramat enda la
ia engganggui jelma, adina keramat ia singarak-ngarak, tapi adina orang
alus, e banci ia erbahan penakit, bage pe celaka man kita.”
(“Dalam tempat tinggal kita ini pun banyak sekali orang halus yang tidak
terlihat oleh mereka yang tidak dua lapis matanya, demikian juga dengan
keramat, sangat banyak juga, di setiap hutan ada satu keramat
penungggu, tapi mahluk halus jenis keramat ini tidak menganggu sifatnya,
tidak mau menganggu manusia, dia menolong manusia, tapi jika
orang-orang halus bisa saja membuat penyakit bagi manusia dan
mencelakakan kita.”)
Seperti yang dituturkan oleh seorang guru perban pangir di Desa Kidupen
yang dipanggil “Pa Jawi”. “Pa Jawi adalah seorang guru pembuat langir
(berlangir). Pa Jawi harus menentukan berapa jumlah tumbuhtumbuhan yang
harus dipakai sebagai bahan upacara dan juga mantera-mantera yang
diucapkan untuk jeniss penyembuhan yan berbeda pula. Untuk membuat
pangir seorang pasien yang mendapat mimpi buruk akan dikumpulkan
bahan-bahan seperti; jeruk empat macam dan setiap macam berjumlah empat
buah, daundaunan tertetnu seperti besi-besi, sangka sempilet,
kalinjuhang dan lain-lain, juga beberapa ruas tumbuh-tumbuhan yang dalam
bahasa Karo disebut buku-buku, seperti; ruas tebu, ruas batang bambu,
ruas batang jagung dan lain-lain. Dimana pemilihan jenis tumbuhan ini
disesuaikan dengan sifat dari tumbuhan itu sendiri yang secara simbolik
dikaitkan dengan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sifat tumbuhan
itu diharapkan menyatu dengan tubuh pasien dan mencapai kembali
keseimbangannya dan sembuh dari penyakit.
Pa Jawi mengatakan bahwa:
“si sungkuni kai si akapna kurang ibas dagingna, kadena si mesui, e maka
si ban pangirna, si leboh guru si deban si dua lapis perngenin matana,
banci idahna ise si reh i jah nari, ras pe ia ngerana, i sungkun kai kin
atena, pemindona makana ia engganggui, adi enggo si eteh, maka si ban
pangirna, bereken kai si i pindo si reh i jah nari, gelah ia laus, kenca
bage e maka si sakit pe malem ka lah ia, malem pinakit”.
(Kita bertanya apa yang dianggap pasien kurang enak di badannya, apa
yang sakit, lalu kita buat pangirnya, dan kita panggil guru yang dapat
melihat mahluk halus dan yang mampu berkomunikasi dengan mahluk halus
itu, ditanya apa kemauannya sehingga ia menganggu si pasien, setelah
diketahui lalu dibuatkan pangir untuk si pasien dan dipenuhi permintaan
mahluk halus itu,
jika demikian, maka sembuhlah si pasien, penyakitnya sembuh)
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang guru harus mampu
terlebih dahulu mendeteksi atau mendiagnosa apa penyebab keadaan sakit
atau keadaan tidak seimbang dalam diri si individu (pasien). Kemudian
tahap berikutnya menentukan jenis upacara penyembuhan dan pengobatan;
jenis obat dan jenis mantera yang diperlukan.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Karo, terdapat beberapa
sebutan untuk jenis guru, seperti; guru tua dan guru si nguda/ guru
sibeluh niktik wari (ahli dalam melihat hari-hari baik dengan
perhitungan waktu, arah dan tempat), guru nendung (peramal dengan
bertanya pada roh-roh gaib) disebut juga sebagai guru si erkata
kerahung/ guru perseka-seka, yaitu seseorang yang memiliki suara siulan
di leher sebagai ucapan roh gaib, guru si dua lapis pernin matana
(seseorang yang dapat melihat roh-roh gaib), guru perjinujung (seseorang
yang disertai dan dibantu oleh roh-roh gaib untuk melaksanakan
penyembuhan dan upacara-upacara ritual), guru si baso (seseorang yang
dapat berhubungan dan mengundang roh-roh gaib untuk memasuki tubuhnya
sehingga kesurupan dan ahli dalam upacara pemanggilan roh-roh orang yang
telah meninggal, dan mengundang roh tersebut untuk memasuki tubuhnya
sebagai medium (perantara) untuk berbicara dengan kearabt-kerabat yang
masih hidup, guru perseluken (seseorang yang ahli mengundang roh-roh
gaib memasuki tubuh orang lain sehingga kemasukan), guru nabas (seorang
ahli mantera), guru permag-mag ( seseorang yang ahli dalam penyampaian
doa melalui nyanyian), guru pertapa (pertapa), guru pertawar (penyembuh
dengan ramuan obat-obatan), guru perbegu ganjang
(pemelihara roh-roh jahat), guru peraji-aji (ahli guna-guna atau peamu
racun), guru baba-baban (ahli jimat isebut juga guru perberkaten), guru
si majak panteken (ahli membuat pangir/langir baik sebagai obat
penyembuh, penolak bala, atau sebagai tangkal, biasanya guru ini
mempunyai apa yang disebut tungkat malaikat).
SIAPA MENJADI GURU
Menurut keyakinan orang Karo hanya orang-orang pilihan saja yang dapat
menjadi seorang guru. Peran sebagai guru dianggap telah ditentukan dari
sejak lahirnya seseorang dengan memiliki tanda-tanda kelahiran tertentu.
Bahkan peran sebagai guru telah dianggap dimiliki seseorang sejak dia
berada dalam kandungan Ibunya berdasarkan kata Dibata si mada tenuang
atau kehendak dari Tuhan sang pencipta. Dalam hal ini, peran sebagai
guru sudah merupakan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa. Pendapat umum
termasuk para guru mengatakan bahwa seseorang jika paroses kelahirannya
tidak istimewa, tidak lain dari pada yang lain ataupun tidak memiliki
ciri fisik tertenu, tidak akan dapat menjadi guru jenis apa pun juga.
Mengingat setiap guru harus mempunyai apa yang disebut dengan jenujung
(junjungan) yaitu roh gaib pelindung/pnolong, maka orang-orang yang
kelahirannya istimewa saja yang dapat mempunyai jenujung. Jenujung ini
diyakini berasal dari benua datas (dunia atas). Junjungan ini dianggap
memiliki kemampuan gaib yang dapat melindungi para guru dan membantunya
dalam praktek-praktek penyembuhan ataupun pengobatan. Junjungan ini
diyakini pula dapat melindungi para guru dari niat jahat orang lain
terhadapnya yang hendak mencelakakanya.
Beberapa ciri tanda kelahiran yang dianggap istimewa seperti; janin yang
dililit oleh tali pusar, leher janin terbungkus oleh selaput pembungkus
janin, dan lain-lain. Sementara itu, beberapa ciri fisik bawaan dari
lahir yang juga dianggap
sebagai hal istimewa adalah; jumlah gigi seri yang hanya dua buah,
jumlah jari kaki ataupun tangannya lebih banyak dari orang biasa, adanya
daging tumbuh pada daerah tertentu di tubuhnya. Tetapi hal ini tidaklah
selalu harus ada pada setiap
guru secara mutalak.
Keahlian dapat pula dimiliki melalui belajar, bertapa, keturunan, atau
atas kehendak roh-roh gaib melalui peristiwa mimpi, didatangi roah gaib
keramat dengan jalan kesurupan, tiba-tiba lehernya mengeluarkan suara
siulan yang berdesis, atau
terlebih dahulu menderita suatu penyakit yang disebabkan oleh roh-roh
gaib, lalu setelah sembuh diadakan suatu upacara untuk meresmikan roh
gaib keramat tersebut menjdi jenujungnya (junjungan). Setelah peresmian
menjadi junjungan ini, maka seseorang sudah menjadi guru dan dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit ataupun mampu mengundfang roh-roh
gaib lainnya. Seeorang dapat pula menolak menjadi guru walaupun dia
bermimpi didatangi roh-roh gaib yang meyuruhnya menjadi seorang guru.
Penolakan ini juga harus dilakukan melalui suatu upacara ritual, sama
halnya dengan penerimaan menjadi guru yang juga harus dilakukan melalui
suatu ritual yang disebut petampeken jenujung. Ritual petampeken
jenujung atau penolakan jenujung ini dapat dilakukan oleh jenis guru
yang disebut dengan guru si baso. Guru si baso ini cenderung terdiri
dari kaum wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar